Minggu, 14 Februari 2010

Petuah, Pandangan dan Pemikiran KH. Maimoen Zubair,Selamatkan NUmu!

Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam'iyyah kemasyarakatan, arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan ideologi yang sudah mapan ini akan segera bergeser seiring menguatnya pengaruh kader-kader JIL pada jajaran kepengurusan organisasi. Dengan wewenang lebih, tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam'iyyah maupun jamaahnya menuju corak berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering diberitakan berpandangan liberal.

Selamatkan NU-mu!

Kerangka pemikiran yang membangun ideologi JIL sebenarnya sangat rapuh. Kenyataan ini melemahkan asumsi bahwa tujuan ideology yang mereka perjuangkan adalah mencari kebenaran sejati. Dan sebaliknya untuk menguatkan dugaan, gerakan mereka sejatinya hanyalah sebuah bentuk propaganda untuk melemahkan dan menghancurkan pondasi-pondasi islam yang telah berdiri kokoh berabad abad lamanya dan berkamuflase dengan menggunakan atribut islam untuk menutupi maksud utamanya. Sebab, seandainya saja asumsi pertama benar, seharusnya mereka tak perlu ngotot mempertahankan pemikiran yang dibangun atas dasar argument dan paradigma yang telah terbukti lemah, adalah suatu kesalahan fatal bagi seorang pencari kebenaran sejati untuk tetap berpijak pada argumen lemah dalam usaha menggapai tujuan.

Berarti, kita boleh sepakat menabuh genderang perang melawan liberalisasi islam dengan segala macam bentuknya. Namun demi menghasilkan kemenangan kita mesti memahami terlebih dahulu seluk beluk, latar belakang serta kekuatan dan kelemahan lawan kita. Nah, sebagai pijakan dasar ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab sebelumnya. Mengapa faham yang mereka tawarkan laris manis diterima sebagian masyarakat, terutama kaum mudanya padahal hanya berdasar pada pola pikir serampangan. Bahkan lebih jauh, mereka mampu menembus struktur organisasi yang dipenuhi ulama-ulama hebat. Perlu diingat juga, perang yang sedang kita hadapi adalah perang ideologi. Tentunya senjata yang kita butuhkan bukanlah pedang, senapan atau senjata militer lainnya. Karena dengan hanya berbekal senjata seperti tadi kita hanya mampu memusnahkan manusia-manusianya saja, tidak dengan hasil pemikirannya. Dan selama pemikiran itu belum dihancurkan hingga ke akar-akarnya, maka suatu saat dengan mudah pemikiran tersebut akan muncul kembali dengan wajah baru. Dengan begitu, sangat jelas betapa pentingnya sebuah media yang mampu memblok ideologi mereka serta mementahkan semua argument yang mendasarinya agar tidak sampai mempengaruhi pola pikir masyarakat kita. Tapi sayangnya salah satu media itu kini berada dalam bahaya. NU, ormas yang mengusung dan memperjuangkan faham ahlus sunnah dan telah memiliki pengaruh luas di Indonesia, malah harus menghadapi bahaya liberalisasi dalam tubuh keanggotaan strukturalnya sendiri.

Sebagai informasi tambahan, menurut Laode Ida dalam "NU Muda"nya, sebenarnya cikal bakal ancaman yang tengah dihadapi NU saat ini telah dimulai sejak lama. Diawali dengan terpilihnya mendiang Gus Dur, yang mewakili generasi muda NU saat itu, menjadi ketua PBNU pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Sejak saat itu NU memiliki dua kubu besar yang saling bertentangan. Yang pertama berada di belakang kiai-kiai sepuh dengan ciri berwatak tradisional (konservatif). Di pihak lain, muncul kubu pembaharu (progresif) yang dimotori Gus Dur. Kubu yang terakhir ini, dengan generasi mudanya berhasrat mendobrak sistem lama yang dirasa kurang cocok dengan semangat demokrasi dan alam modern. Salah satunya adalah tradisi sikap patronasi (menjadikan suri tauladan) berlebih yang telah mendarah daging di kalangan warga NU selama ini yang merupakan bentuk kelaziman latar belakang pesantren yang dibawa mayoritas warganya. Dengan duduknya Gus Dur di tampuk kepemimpinan organisasi, kalangan NU progresif pun semakin mudah menancapkan pengaruhnya dan mulai mendominasi control dalam menentukan arah perjuangan keorganisasian NU. Gesekan dua pola pikir di dalam NU ini masih tetap adem ayem -mungkin karena masih dianggap sebagai perbedaan yang membawa rahmat- sampai pada akhirnya Gus Dur mulai "berulah" dengan sering mengorbankan perasaan warga nahdliyin sendiri hanya demi membela kepentingan golongan minoritas di negeri ini. Meskipun sikap "beliau" diakui menyakitkan, berkat rasa patrilineal (sistem pengelompokan sosial yang mementingkan garis keturunan dari jalur ayah) yang kental, warga nahdliyin masih saja mentakwil berbagai kenyelenehan Gus Dur. Maklum saja, Gus Dur itu kan "gus triple" dan mewarisi gen pendiri NU. Jadi selalu saja ada rasa ewuh pakewuh, untuk menegur atau mengingatkan kalau-kalau berbuat keliru. Baru sekitar lima tahun belakangan saat kesabaran warga NU habis atau mungkin juga mulai sadar untuk membuka mata labar-lebar. Mereka tidak bisa lagi mentolerir kenyelenehan Gus Dur yang semakin menjadi-jadi dan semakin tidak bisa didiamkan. Kalau saja yang terjadi memang demikian, berarti sudah dua puluh lima tahun lebih benih-benih liberalisme tumbuh subur di dalam tubuh NU. Dan bisa dibayangkan seberapa kuat dan besarnya pengaruh liberalisme terhadap arah pemikiran warga NU.

Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam'iyyah kemasyarakatan, arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan ideologi yang sudah mapan ini akan segera bergeser seiring menguatnya pengaruh kader-kader JIL pada jajaran kepengurusan organisasi. Dengan wewenang lebih, tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam'iyyah maupun jamaahnya menuju corak berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering diberitakan berpandangan liberal. Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana orang-orang seperti Ulil Abshor bebas melangkah sampai sejauh ini tanpa ada usaha menghentikan atau kasarannya (lebih kasar lagi red) memboikot mereka beserta pemikirannya dari tubuh NU. Bukankah disana masih banyak kyai-kyai yang selalu memperjuangkan dan menjaga akidah masyarakatnya dari setiap hal yang berpotensi menjerumuskan pada kesesatan?! Yach, harus disadari memang, NU sendiri hidup ditengah-tengah kebangsaan yang demokratis, profan dan plural. Selain itu, wajah NU juga sudah banyak berubah. Kini NU tidak lagi hanya milik kalangan yang mligi dari pesantren. Tapi juga milik mereka-mereka dengan basic non-pesantren. Maka dengan sendirinya, masing-masing dari pihak ini harus disinergikan agar tidak memunculkan benturan di dalam orientasi perjuangan NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Kemudian, kenyataan bahwa demokrasi di Indonesia lebih cenderung bersifat liberal, suatu sitem politik yang begitu getol membela kebebasan hak berpendapat, menjadi kesulitan tersendiri untuk mengcounter faham-faham baru, meskipun jelas-jelas menyimpang dan berpotensi merusak tatanan masyarakat. Jadi, sekeras apapun kita meneriaki sesat, mereka tak mungkin berhenti, karena merasa apa yang mereka lakukan sah-sah saja, apalagi sampai harus takut pada pencekalan oleh UU. Dengan demikian jalan yang tersisa, kita harus menghadapi dengan terbuka.

Tidak kalah penting, mungkin perlu adanya kesepakatan mengenai batasan-batasan sampai dimana suatu pendapat dikatakan liberal dan mana yang sekedar penyesuaian dengan perkembangan atau perubahan kondisi yang ada, tapi masih dalam batasan yang dibenarkan, sebab sepertinya setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri tentang liberalisme. Terkadang hanya berargumentasi dengan logika, seseorang bisa memvonis anda liberal. Bukankah yang semacam ini terlalu dilebih-lebihkan, malahan semakin mengaburkan esensi liberalisme sendiri. Ujung-ujungnya, bisa-bisa setiap orang dicap liberal oleh yang lainnya. Ini memang masalah sensitif, kita tidak bisa sembarangan memvonis atas suatu pernyataan tanpa memahami secara utuh pernyatan tersebut. Kalau masih bisa didiskusikan, kenapa tidak, dari pada harus saling serang argumen yang bisa menjurus kedebat kusir, bukannya menghasilkan kesepakatan , yang ada malah mempertajam perselisihan.

Akhirnya sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dimasa depan yang saat ini sudah muncul di depan mata. Dan, terserah anda memilih aktif terlibat dalam organisasi NU atau sekedar menjadi warga NU, selamatkan kendaraan yang berfungsi mengakomodir langkah dan tujuan kita ini dari segala ancaman ideologi yang menyimpang. Namun juga tidak boleh dilupakan NU itu terbuka bagi sipa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Dan untuk mampu bertahan hidup ditengah masyrakat yang plural, kita dituntut untuk bersikap toleran dan terbuka atau (open minded), tinggal nantinya bagaimana kita harus tegas menentukan garis, sampai sejauh mana toleransi masih dibenarkan. Terakhir, meskipun kita tidak boleh asal menuduh seseorang dikatakan liberal, namun kita tetap perlu mewaspadai bibit-bibit liberalisme yang tumbuh disekitar kita, apalagi dengan menyadari, pengaruh sebuah ideologi bisa masuk kepikiran seseorang tanpa pernah ia sadari, mulailah peduli dan tanggap terhadap orang-orang disekitar anda. Sebelum mereka berubah menjadi pribadi-pribadi yang belum pernah anda kenal sebelumnya,. Wal'iyadzbillah.

8 Pengertian Cinta Menurut Qur’an

Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Alloh SWT, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain.

Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta Mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.

3. Cinta Mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.

4. Cinta Syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33)

7. Cinta Syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi

8. Cinta Kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

Pengertian Ahli Sunnah Wal Jama’ah

Kalau kita mau merenungkan makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, seperti yang disinggung dalam beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, kita akan tahu dengan jelas bahwa hal itu hanya cocok dan sesuai dengan golongan ahli sunnah wal jama’ah.

Siapa sebenarnya mereka? Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu kita bisa mengidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dari beberapa segi sekitar yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka, dan definisi mereka menurut kaca mata orang-orang salafus saleh bahwa yang dimaksud ialah mereka. Sebab, pemilik rumah itu jelas yang paling tahu isi rumahnya, dan walikota itu yang paling tahu rakyatnya.

Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa ahlu sunnah wal jama’ah itu ialah:

Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.

Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.

Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.

Keempat, ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, karena merekalah yang memang cocok dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..”

Dalam satu lafazh disebutkan:

“Ada segolongan umatku yang senantiasa menegakkan perintah Allah….”

Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing atau aneh ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah sangat marak, dan zaman sudah rusak. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

“Semula Islam itu asing dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing.”

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

“Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yakni beberapa orang saleh yang hidup di tengah-tengah banyak manusia yang jahat. Lebih banyak orang yang memusuhi mereka daripada yang taat kepada mereka.”

Sifat tersebut cocok dengan ahli sunnah wal jama’ah.

Keenam, mereka adalah para ahli hadist, baik riwayat maupun dirayat. Karena itulah kita melihat para tokoh kaum salaf menafsiri al tha’ifat al manshurat dan al firqat al najiyat, yakni orang-orang ahli sunnah wal jama’ah, bahwa mereka adalah para ahli hadist. Hal itu berdasarkan riwayat dari Ibnu Al Mubarak, Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Ibnu Al Madini, dan Ahmad bin Sinan. Ini benar, karena para ahli hadist lah yang layak menyandang sifat tersebut, mereka adalah para pemimpin ahli sunnah.

Mengomentari kalimat al tha’ifat al manshurat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kalau yang dimaksud dengan mereka bukan ahli hadist, saya tidak tahu lalu siapa lagi?!”

Al Qadhi Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan mereka oleh Imam Ahmad ialah ahli sunnah wal jama’ah, dan orang yang percaya pada madzhab ahli hadist.”

Menurut saya, seluruh kaum muslimin yang tetap berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar.



Kenapa Dinamakan Ahli Sunnah Wal Jama’ah?

Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku.”

Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.

Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.

Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

Terakhir kita sampai pada sebuah kesimpulan yang konkrit bahwa nama dan sifat ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah yang bersumber:

Pertama, dari sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, sebagaiman sabda beliau, “Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku”, ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada mereka untuk setia pada jama’ah, dan melarang menentang serta memisahkan diri darinya. Jadi nama ahli sunnah wal jama’ah adalah nama pemberian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliaulah yang menyebut mereka seperti itu.

Kedua, dari peninggalan sahabat dan para salafus saleh yang hidup pada kurun berikutnya. Peninggalan tersebut menyangkut ucapan, sifat, dan tingkah laku mereka. Nama itu sudah mereka sepakati bersama dan menjadi sifat para pengikutnya. Peninggalan-peninggalan mereka itu ada pada karya-karya mereka yang tertulis dalam kitab-kitab hadist dan atsar.

Ketiga, istilah ahli sunnah wal jama’ah adalah keterangan syari’at yang didukung dengan kenyataan yang benar-benar ada. Istilah itu membedakan antara orang-orang yang setia pada kebenaran dari orang-orang yang suka membikin bid’ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Ini berbeda dengan anggapan sementara orang yang mengatakan, bahwa ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah nama yang muncul di tengah perjalanan zaman. Nama ini baru ada di trngah-tengah perpecahan kaum muslimin. Padahal sebenarnya tidak begitu. Itu anggapan yang keliru. Ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah atau nama ala syari’at yang berasal dari kaum salaf umat Islam. Artinya, ia sudah ada semenjak zaman sahabat dan para tabi’in yang hidup pada periode-periode awal Islam.

Mengenai anggapan sementara orang yang sudah menjadi budak nafsu bahwa ahli sunnah itu hanya terbatas pada orang-orang salaf mereka saja, dan bahwa yang dimaksud dengan salafus saleh adalah orang-orang yang mengikuti madzhab mereka, itu memang benar. Anggapan tersebut tidak keliru, karena salafus saleh memang ahli sunnah. Begitu pula sebaliknya, baik ditinjau dari pengertian syari’at maupun kenyataannya, sebagaimana yang sudah saya kemukakan di atas. Jadi siapa yang tidak mengikuti madzhab salaf dan tidak menempuh manhaj serta jalan mereka, berarti ia telah memisahkan dari as sunnah dan jama’ah.

Perlu kita katakan kepada orang-orang sesat yang meng-ingkari as sunnah dan para pengikutnya, bahwa itulah yang dimaksud as sunnah, dan mereka itulah para pengikutnya yang bernama ahli sunnah wal jama’ah. Jika kita berpaling dan menolak ucapan yang benar ini, maka kita hanya bisa mengingatkan mereka apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Nuh alaihi salam kepada orang-orang yang berpaling dari seruan dakwahnya, seperti yang tertuang dalam firman Allah Ta’ala ini:

“Berkata Nuh, ‘Hai kaumku, bagaiman pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberi-Nya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apakah akan kamu paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?”



Apakah Mereka Dibatasi Oleh Ruang dan Waktu?

Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka banyak terdapat di sebuah negara, namun sedikit di negara lainnya. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja.

Di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi pelita kegelapan dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. Dan karena jasa merekalah terwujud janji Allah yang akan menjaga agama ini.

Dengan demikian jelaslah siapa sebenarnya ahli sunnah wal jama’ah? Siapa itu salafus saleh? Pernyataan golongan-golongan tertentu yang mengaku sebagai ahli sunnah wal jama’ah tetapi nyatanya mereka justru memisahkan diri dari as sunnah dan jama’ah, serta menyerang para salafus saleh atau sebagian dari mereka, adalah pernyataan yang ditolak berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’at, dasar-dasar ilmiah, dan fakta-fakta sejarah.

Demikian pula harus ditolak pengakuan-pengakuan bahwa seluruh kaum muslimin itu setia pada sunnah. Pengakuan seperti itu selain mendustakan berita dari Allah dan Rasul utusan-Nya shalallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ada perpecahan, juga berlawanan dengan kenyataan yang ada.

Demikian pula dengan pernyataan dan pengakuan-pengakuan lainnya.

Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya as sunnah bukanlah partai atau semboyan atau aliran yang dianut secara fanatik. Tetapi ia merupakan warisan peninggalan Nabi, mtode yang benar, jalan yang lurus tali yang kuat, dan jalan orang-orang beriman yang terang seterang siang. Siapa yang berpaling darinya pasti ia akan celaka.

Berbagai kesalahan, kekeliruan, dan bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah atau oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli sunnah, itu sama sekali bukan dari ajaran as sunnah dan bukan mengikuti manhaj yang benar.

Allah melindungi jasad Nabi SAW


Ada sebuah peristiwa ajaib yang pernah terjadi pada tahun 557 H/1162 M. peristiwa ini dialami oleh sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, sebagaimana yang dituturkan oleh syeikh Natori, demikian hal juga seperti yang tuturkan oleh syeikh Samanhudi dalam kitab Khulafatul Wafa bi Akhbaril Mushtafa.

Sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, adalah penguasa Syam, Mesir, Aljazair dan daerah-daerah sekitarnya. Belum ada raja yang lebih prilaku, keadilan dan kewara'annya dalam perjuangan melawan tentara Salibil yang sangat masyhur. Beliau wafat pada tahun 557 H/1162 M.
Pada suatu malam sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, bermimpi melihat Nabi saw, menunjuk kepada dua orang berkulit putih seraya berteriak meminta tolong kepada beliau, "Tolong, selamatkan aku dari dua orang ini."

Peristiwa mimpi ini dialami sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau bangun dengan kaget. Dan malam itu juga sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, bersama seorang mentri dan dua puluh pengawal meninggalkan kota Turki dengan menggunakan kenderaan cepat dan membawa uang yang banyak sekali.

Enam belas hari kemudian sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, tiba di kota Madinah. Kemudian beliau segera memerintahkan kepada gebernur Madinah agar seluruh penduduk Madinah berkumpul. Kemudian sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, membagi-bagikan uang kepada mereka satu-persatu sambil mencari-cari dua orang yang ditunjuk Nabi saw. Namun hingga selesai pembagian uang itu seluruhnya, belum juga muncul dua orang tersebut.

Lalu sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, bertanya: "Apakah masih ada orang yang belum datang ?". Mereka menjawab: "Tidak ada ! Namun yang tertinggal hanya ada dua orang yang shaleh dan ahli ibadah serta banyak bersedekah dan mereka sangat baik."

Setelah sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, mencari, dan akhirnya bertemu dengan dua orang tersebut, ternyata cocok dengan dua orang yang ditunjuk Nabi saw, dalam mimpi beliau.
Lalu sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a, segera memerintahkan agar keduanya ditangkap dan dibawa ke rumah tempat mereka berdua tinggal. Alangkah terkejutnya ternyata di dalam rumah itu digali terowongan yang sudah dekat dengan jasad Nabi saw, untuk diambil. Kemudian keduanya dipancung sebagai hukumannya.

Lalu akhirnya sulthan Nuruddin Mahmud Janki r.a memerintahkan agar digali lubang yang dalam sampai ke dasar air di sekeliling hujrah Nabi saw, dan diisi dengan corocoran logam agar aman dari tangan-tangan jahil.

Kita sebagai umat Islam benar-benar yakin bahwa jasad Nabi saw, pasti dilindungi Allah dan dipelihara dari tangan-tangan orang jahil yang akan mencelakai jasad Nabi saw. dari berbagai sumber

Kelemahan Islam Terdapat pada Pertikaian para Ulamanya

Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah pada tahun 1365 H. Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama Makkah terkemuka lainnya, seperti Sayyid Amin Kutbi, Hassan Masshat, Muhammad Nur Sayf, Sa’id Yamani, dan lain-lain. Sayyid Muhammad memperoleh gelar Ph.D-nya dalam Studi Hadits dengan penghargaan tertinggi dari Jami’ al-Azhar di Mesir, pada saat baru berusia dua puluh lima tahun. Beliau kemudian melakukan perjalanan dalam rangka mengejar studi Hadits ke Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, Yaman, dan juga anak benua Indo-Pakistan, dan memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan sanad dari Imam Habib Ahmad Mashhur al Haddad, Syaikh Hasanayn Makhluf, Ghumari bersaudara dari Marokko, Syekh Dya’uddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya Kandihlawi, dan banyak lainnya. Sayyid Muhammmad merupakan pendidik Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim kontemporer dalam ilmu hadits, ‘alim mufassir (penafsir) Qur’an, Fiqh, doktrin (‘aqidah), tasawwuf, dan biografi Nabawi (sirah). Sayyid Muhammad al-Makki merupakan seorang ‘aliim yang mewarisi pekerjaan dakwah ayahanda, membina para santri dari berbagai daerah dan negara di dunia Islam di Makkah al-Mukarromah. Ayahanda beliau adalah salah satu guru dari ulama-ulama sepuh di Indonesia, seperti Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. Maimun Zubair dan lain-lain. Dalam meneruskan perjuangan ayahandanya, Sayyid Muhammad sebelumnya mendapatkan sedikit kesulitan karena beliau merasa belum siap untuk menjadi pengganti ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah melanjutkan studi dan ta’limnya terlebih dahulu. Beliau berangkat ke Kairo dan Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihannya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidil Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universitas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil membuka majlis ta’lim dan pondok di rumah beliau. Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjidil haram atau di rumah tidak bertumpu pada ilmu tertentu seperti di Universitas, akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan mencicipi apa yang diberikan Sayyid Muhammad Maka dari itu beliau selalu menitik beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya, beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama. Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di Indonesia, India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan sebagai orbit dakwah Sayyid Muhammad al Maliki, ribuan murid murid beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak sedikit yang masuk ke dalam pemerintahan. Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari, beliau juga mengasuh pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit, semua berdatangan dari penjuru dunia, belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar, para santri dipulangkan ke negara-negara mereka untuk menyiarkan agama. Sayyid Muhammad al Maliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih- lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku, baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan memecahkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang benar bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan berkesudahan. Sayyid Muhammad tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas dan ta’lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak sependapat dan sealiran dengannya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah. Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, mereka sangat pandai, di samping menguasai bahasa Arab, mereka juga menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan pegangan dan referensi di negara-negara mereka. Pada akhir hayat beliau saat terjadi insiden teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syekh sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti “Hiwar Fikri” di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 DhulQo’idah 1424 H dengan judul “Al-qhuluw wal I’tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah”, di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist (keras). Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul “Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama”. Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da’wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas. Pada tg 11/11/1424 H, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da’wah. Di samping tugas beliau sebagai da’i, pengajar, pembibing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat bagi agama, beliau juga seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya, semuanya beredar di seluruh dunia. Tidak sedikit dari kitab-kitab beliau yang beredar telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll. Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan) adalah salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red.) bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka. Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan oleh ‘rumah Najd’ dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf. Saat kaum Salafi-Wahhabi mendiskreditkan beliau, beliau pun menulis lebih banyak buku dan mendirikan Zawiyyah beliau sendiri yang menjadi “United Nations” (Perserikatan Bangsa- Bangsa) dari para ‘Ulama. Akhirnya, protes dari dunia Muslim memaksa kaum Salafi-Wahhabi untuk menghentikan usaha mereka mem-peti es-kan sang ‘alim kontemporer’ yang paling terkenal dalam mazhab Maliki ini. Beberapa di antara mereka bahkan mulai mendukung beliau. Kedengkian mereka sebenarnya didorong oleh fakta bahwa Sayyid Muhammad al-Maliki jauh lebih unggul untuk dijadikan tandingan mereka. Dengan sendirian saja, beliau mengambil Islam Sunni dari klaim tangan-tangan Neo-Khawarij Salafi-Wahhabi dan menempatkannya kembali ke tangan mayoritas ummat ini. Melalui berbagai karya-karyanya yang menonjol, beliau menyuntikkan kepercayaan diri yang amat dibutuhkan dalam perdebatan saat kaum jahil yang mengandalkan ijtihad pribadi mulai meracuni pemikiran umat Islam. Beliau wafat hari jumat tgl 15 ramadhan 1425 H ( 2004 M) dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la disamping makam istri Rasulallah Saw. Khadijah binti Khuailid Ra. dengan meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alawi, Ali, al- Hasan dan al-Husen dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut satu persatu disini. Dan yang menyaksikan pemakaman beliau hampir seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri. Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, setelah disholatkan di Masjidil Haram ba’da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza’. Dan di hari terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat. Ketika jenazah Sayyid Muhammad Al Maliki hendak dishalatkan di Masjidil Haram, ribuan warga kota Mekkah bergantian menggusung jenazahnya. Dikabarkan toko-toko di sekitar Masjidil Haram yang dilewati jenazah mematikan lampu sebagai tanda dukacita. Kebesaran keluarga Al Maliki, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara Afrika, Mesir, dan Asia Tenggara. Jadi tidak heran dengan meninggalnya Sayyid Muhammad Al Maliki umat Islam telah kehilangan satu ulama yang telah mengoreskan tinta sejarah perjuangan menegakkan kalimat tauhid di muka bumi ini yang menjadi tauladan buat kita semua.

Apa itu Ahlussunnah wal Jamaah?

Seringkali kita mendengar bahwa Indonesia adalah Negara mayoritas muslim yang berlandaskan pada ahlussunna wal Jamaah. Ajaran ini dibawa oleh para walisongo dan orang-orang Arab pada masa penyebaran Islam yang berasal dari negeri Hadramaut dan Hijaz. Ironisnya, akhir-akhir ini ada beberapa golongan yang menyatakan diri mereka sebagai ahlussunnah wal jamaah dan satu-satunya firqah najiyah yang memiliki ‘pekerjaan baru’ suka mengkafirkan dan membid’ahkan amalan-amalan ibadah mayoritas umat Islam di Indonesia, seperti pembacaan maulid nabi yang mereka anggap bid’ah dan sesat, ziarah kubur, pembacaan tahlil dan sebagainya. Lebih ekstrem lagi golongan kecil tersebut telah berani mengatakan bahwa pelopor dakwah Islam di nusantara yaitu para wali songo adalah orang-orang yang sesat dan kafir, karena mereka adalah termasuk golongan orang-orang sufi.

Demikian, kata ahlussunnah wal jamaah sudah tidak asing lagi bagi kita, namun apakah sebenarnya ahlussunnah wal jamaah itu? Secara etimologi Ahlussunnah wal jamaah (baca: aswaja) berarti pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau (ma ana ‘alaihi wa ashhabi). Pada periode awal, ahlussunnah adalah para sahabat Nabi, yang senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dalam al-Qur’an di bawah bimbingan Rasulullah SAW (sunah). Pada periode beikutnya paham ini diformulasikan kembali oleh Abul Hasan Al-Asy’ari. Mula-mula Abul Hasan adalah murid Al-Jubba’I (pengikut Mu’tazilah), tapi kemudian keluar dan mendeklarasikan paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan.
“…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di
antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)


Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka.
Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa
mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril: Maknanya: Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya : “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian
mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang
setelah mereka” Dan termasuk rangkaian hadits ini: “tetaplah bersama al-Jama’ah dan
jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Konteks jama’ah dalam hadis ini mengisyaratkan pada mayoritas umat
Muhammad dari sisi kuantitas. Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits firqan najiyah di atas. Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut
Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.
Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah ulama salaf. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi: “sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka” (H.R. Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian muncul dua pembaharu Islam yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mereka adalah dua Imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya. Mereka datang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawari tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya.
Karena itu mereka yang mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai istilah, maka kemudian dinisbatkan pada doktrin yang digariskan oleh kedua imam ahli teologi (akidah) tersebut, yakni disebut Asy'ari (pengikut penggagas pemikiran teologi Asy'ari) atau Maturidi (penganut pemikiran teologi al-Maturidi). Imam Ibnu Hajar al-Haythami mengatakan, bahwa jika Ahlus Sunnah wal Jama'ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah mereka yang mengikuti formulasi yang digagas oleh Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi. (Tathir al-Janan wa al-Lisan, h. 7).
Dua tokoh teologi inilah yang menjadi pelopor gerakan kembali kepada ajaran yang menjadikan as-Sunnah sebagai pijakan akidah, syari'ah dan akhlak sesudah al-Qur'an. Adapun iima'para sahabat dan ulama beserta qiyas juga diperhitungkan sebagai acuan penting di dalam menyelesaikan ketiga persoalan pokok (akidah, syari'ah dan akhlak) tersebut di atas.
Nama lengkap Imam al-Asy'ari ialah Abu al- Hasan Ali al-Asy'ari (w. 324H/936 M), beliau keturunan sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Pernah masuk faham Mu'tazilah, yang dipelopori oleh al-Jubba'i, namun tidak lama kemudian ia keluar dari Muktazilah dan kembali ke pangkuan ajaran yang murni, yakni as-Sunnah, dan saat itulah dia mendeklarasikan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah secara formal. Karena as-Sunnah (yang sahib) dinilai satu-satunya ajaran Nabi Muhamamd SAW yang paling amat penting, hingga ajaran ini dikenal paling mutawatirmata rantai (sanad)nya, karena itu paling patut untuk diikuti secara konsekwen dan konsisten. Setelah itu banyak kalangan ulama yang memuji sikapnya ini, semua itu karena keteguhannya di dalam menyelamatkan akidah umat Islam dari kerusakan pemikiran - baik secara eksternal yang terpengaruh Yunani maupun secara internal dengan ditandai munculnya sekte-sekte yang menjauhi kedua sumber utama Islam: al-Quran dan as-Sunnah.
Menurut Prof. Dr. Muhammad bin Alwy al-Maliky almaghfurlah, sebagaimana yang ditulis di dalam bukunya berjudul "Al-Mafahim Yajib an Tushashhah, bahwa sesungguhnya pengikut awal teologi al-Asy'ari ini ternyata adalah para pembesar ulama, mereka itu adalah para tokoh dan pakar hadith, fuqaha, dan mufassirin - yang semuanya mendukung gerakan akidah yang telah dicanangkan oleh al¬Asy'ari ini. Di antaranya dapat disebut di sini ialah-. Imam Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam al-Qurthubi, Imam Zakariya al-Anshari dan lain sebagainya.*
Begitulah, kemudian Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi).
Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu. Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad sehingga dapat melihat Allah.
Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan
sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan: “Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah”・ (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia. Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Chechnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di negara-negara lainnya.
Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam
mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas. Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar . Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu- ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan
sahabat Jundub: “ Kami selagi remaja saat mendekati baligh bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-Bushiri).wallahu'alam

I Love You Full Sayyid Maliki

Prof. DR. As-Sayyid Muhammad
bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani
Makkah, Saudi Arabia
Sosoknya tinggi besar dan berwajah tampan. Kacamata dan sorbannya menjadi salah satu trade mark-nya. Sebagaimana adat para keturunan Rasulullah dan Asyraf 87 Makkah. As-Sayyid Muhammad Al-Maliki selalu tampil beda dengan Ulama Arab Saudi lainnya. Beliau selalu mengenakan jubbah, sorban dan rida’88 yang biasa dikenakan para Asyraf di Makkah.
Abuya Maliki, begitu para murid dan pecintanya menyapa beliau. Abuya merupakan kata sapaan yang menunjukkan kedekatan hubungan antara anak dan ayah. Memang As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki adalah sosok ulama yang memiliki kedekatan hubungan emosional di kalangan umat Islam di Indonesia.
Murid-murid beliau berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Kebanyakan mereka berasal dari Indonesia. Mereka belajar, makan, tidur tanpa dipungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan uang saku kepada mereka. Setelah beberapa tahun belajar mereka pulang ke negara masing-masing untuk mensyiarkan Islam. Di Indonesia kebanyakan para murid Abuya Al-Maliki mendirikan lembaga pendidikan Islam berupa pondok pesantren atau majelis taklim yang memiliki pengikut ribuan jumlahnya.

As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki adalah seorang tokoh ulama ahlussunnah wal jama'ah kaliber internasional. Beliau merupakan warisan keluarga Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Beliau adalah keturunan Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam melalui jalur cucu Baginda Rasul Al-Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Keturunan Al-Imam Hasan termasuk langka dan jarang. Yang terbanyak adalah keturunan yang bersambung kepada Al-Imam Husein, seperti kebanyakan para habaib yang kita jumpai di tanah air ini.
Keluarga Al-Maliki merupakan salah satu keluarga yang dihormati di kalangan petinggi dan masyarakat Makkah dan telah melahirkan para ‘alim ulama yang menjadi pengajar di Makkah sejak lama. Kakek beliau, As-Sayyid Abbas Al-Maliki menduduki jabatan Mufti dan Qadhi di Makkah, serta ditunjuk oleh pemerintah kerajaan Saudi Arabia sebagai pengajar dan khatib di Masjidil Haram. Raja Saudi Arabia kala itu, Raja Abdul Aziz bin Sa’ud sangat menghormati beliau89. Banyak di antara para murid beliau telah menjadi ulama di negaranya masing-masing. Salah satunya adalah KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia.
Ayah Beliau, As-Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki merupakan salah seorang Ulama Makkah termasyhur di abad 19 M. As-Sayyid Alawi telah mengajar di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Beliau telah mencetak ribuan murid yang menyebar ke seluruh pelosok dunia. As-Sayyid Alawi merupakan ulama pertama yang memberikan ceramah di radio Saudi setelah Shalat Jum'at dengan kajian Hadisul Jum'ah.
Raja Faisal, penguasa Hijaz kala itu tidak pernah membuat keputusan apapun berkaitan dengan Makkah melainkan setelah meminta pertimbangan kepada As-Sayyid Alawi Al-Maliki. Ketika As-Sayyid Alawi Al-Maliki meninggal dunia pada tahun 1971 M, upacara pemakaman beliau menjadi pemakaman terbesar di Makkah sejak seratus tahun. Stasiun radio di Saudi setempat pun hanya mengisi acaranya dengan bacaan Al-Qur’an selama tiga hari berturut-turut untuk meng-hormati beliau, sesuatu yang tidak pernah dilakukan kecuali hanya untuk As-Sayyid Alawi Al-Maliki 90.
Masa Muda As-Sayyid Muhammad Al-Maliki
As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani, nasab ini terus bersambung kepada As-Sayyid Idris Al-Azhari bin Idris Al-Akbar bin Abdillah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibth bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra Putri Rasulullah.
As-Sayyid Muhammad Al-Maliki dilahirkan pada tahun 1365 H, bertepatan pada tahun 1946 M, di Kota Suci Makkah. Adapun gelar Al-Maliki yang terpatri pada nama beliau, dikarenakan datuk beliau menjadi Mufti Madzhab Maliki yang menjadi rujukan di Hijaz kala itu.
Semenjak kecil beliau mendapat pendidikan khusus dari ayahnya. As-Sayyid Muhammad menghafal Al-Qur'an dan belajar dalam halaqah 91 keilmuan di Masjidil Haram yang dipimpin oleh sang ayah. Dalam bimbingan ayahnya, As-Sayyid Muhammad mempelajari dan mendalami berbagai disiplin keilmuan, di antaranya adalah: akidah, tafsir, hadis, fikih, ushul, musthalah, nahwu dan berbagai disiplin ilmu keislamam lainnya. Beliau juga menimba ilmu dan mengambil ijazah dari para ulama yang berada di Hijaz kala itu.
Kecerdasan Al-Maliki telah nampak sejak kecil. Beliau hafal Al-Qur'an pada usia 7 tahun. Pada usia 15 tahun beliau hafal Al-Muwattha', kitab hadis karya Al-Imam Malik. Menginjak usia 15 tahun dengan arahan guru-gurunya, As-Sayyid Muhammad telah mengajar kitab hadis dan fikih di Masjidil Haram. Setelah mempelajari berbagai disiplin ilmu di Haramain beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.
Dari Universitas Al-Azhar, beliau menerima gelar Phd, padahal usia beliau baru 25 tahun. Hal ini menjadikan beliau sebagai warga Arab Saudi yang pertama dan termuda menerima gelar PhD dari Al-Azhar. Tesis beliau ber-kenaan dengan hadis dianggap cemerlang dan memperoleh predikat excellent 92 di bawah bim-bingan seorang pakar hadis Profesor Dr. Muhammad Abu Zahrah. Sepulang dari Al-Azhar, pada tahun 1970 M beliau ditunjuk untuk mengajar di Universitas Ummul Qurra, Makkah dan beliau dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hadis. Kala itu usianya baru 26 tahun.
Perjalanan menuntut ilmu merupakan jalan kebanyakan para leluhurnya. As-Sayyid Muhammad Al-Maliki juga demikian. Sejak muda beliau menghabiskan waktunya untuk belajar dengan penuh ketekunan.
Beliau mengembara sejak usia muda untuk menuntut ilmu dari para ulama di zamannya. Perjalanan demi perjalanan untuk mencari ilmu dilakukannya, di antaranya ke Afrika, Mesir, Maroko, Libia, Sudan, Syuria, Turki, Hadramaut, India dan Pakistan untuk belajar kepada para ulama kala itu. Di sana beliau bertemu dengan para auliya’, guru-guru thariqah, pembesar-pembesar sufi. Dalam kesempatan itu pula beliau pergunakan waktunya untuk menziarahi masjid-masjid dan makam para auliya’, serta mengumpulkan berbagai manuskrip dan kitab-kitab yang langka. Dalam pengembaraannya itu As-Sayyid Muhammad mendapat ijazah keilmuan lebih dari 200 para ulama.
Guru-guru As-Sayyid Muhammad Al-Maliki antara lain:
Dari Makkah:
1) Al-Allamah As-Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Ayah sekaligus guru pertama beliau).
2) Asy-Syeikh Muhammad Yahya Aman al-Makki.
3) Asy-Syeikh Muhammad Al-Arabi At-Tabbani.
4) Asy-Syeikh Hasan Sa'id Al-Yamani.
5) Asy-Syeikh Hasan bin Muhammad Al-Masysyath.
6) Asy-Syeikh Muhammad Nur Sayf.
7) As-Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani.
8) As-Sayyid Muhammad Amin Qutbi.
9) Al-Habib Hasan bin Muhammad Vad'aq.
10) Al-Habib Abdul Qadir bin Idrus Al-Baar.
11) Asy-Syeikh Khalil Abdul Qadir Taybah.
12) Asy-Syeikh Abdullah Al-Lahji.
Dari Madinah:
1) Asy-Syeikh Hasan Asy-Sya'ir.
2) Asy-Syeikh Dhiyauddin Ahmad Al-Qadiri.
3) Asy-Syeikh Ahmad Yasin Al-Khiyari.
4) Asy-Syeikh Muhammad Al-Mustafa Asy-Syinqiti.
5) Asy-Syeikh Ibrahim Al-Qattani Al-Bukhari.
Dari Hadramaut dan Yaman:
1) Al-Habib Umar bin Ahmad bin Smith.
2) Asy-Syeikh Muhammad Zabarah (Mufti Yaman).
3) Al-Habib Ibrahim bin Agil Ba'alawi (Mufti Ta'iz).
4) As-Sayyid Hasan bin Abdul Bari Al-Ahdal.
5) Asy-Syeikh Fadhl bin Muhammad Bafadhal.
6) Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Attas.
7) Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syeikh Abubakar bin Salim.
8) Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha Al-Haddad (wafat di Jeddah).
9) Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah).
Dari Syuria:
1) Asy-Syeikh Abuul Yasar ibnu Abidin (Mufti Syuria).
2) Asy-Syeikh Muhammad Al-Makki Al-Qattani (Mufti Maliki).
3) Asy-Syeikh Muhammad As'ad Al-Abaji (Mufti Syafi'i).
4) Asy-Syeikh As-Sayyid Muhammad Sholeh Al-Farfur.
5) Asy-Syeikh Hasan Habannakah Al-Maydani.
6) Asy-Syeikh Abdul Aziz 'Uyun As-Sud Al-Himsi.
7) Asy-Syeikh Muhammad Sa'id Al-Idhabi Ar-Rifa'i.
Dari Mesir:
1) Asy-Syeikh Al-Muhaddis Muhammad Al-Hafidz At-Tijani.
2) Asy-Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (Mufti Mesir).
3) Asy-Syeikh Sholeh Al-Jakfari (Imam Besar Masjid Al-Azhar).
4) Asy-Syeikh Amin Mahmud Khattab As-Subki.
5) Asy-Syeikh Muhammad Al-'Aquri.
6) Asy-Syeikh Hasan Al-'Adawi.
7) Asy-Syeikh Muhammad Abul 'Uyun Al-Khalwati.
8) Asy-Syeikh Dr Abdul Halim Mahmud (Syaihkul Azhar).
Dari Afrika Utara (Maroko, Algeria, Libya dan Tunisia):
1) Asy-Syeikh Abdul Kabir Assaqali Al-Mahi.
2) Asy-Syeikh Al-Muhaddis Abdullah bin As-Siddiq Al-Ghimari.
3) Asy-Syeikh Abdul Aziz bin As-Siddiq Al-Ghimari.
4) Syarif Idris As-Sanusi (Libya).
5) Asy-Syeikh Muhammad At-Tahir ibn 'Asyur (Imam Zaytunah, Tunis).
6) Asy-Syeikh Tayyib Al-Muhajir Al-Jazairi.
7) Asy-Syeikh Al-Faruqi Ar-Rahhali Al-Marrakasyi.
8) Asy-Syeikh Muhammad Al-Muntasir Al-Qattani.
Dari Sudan:
1) Asy-Syeikh Yusuf Hamad.
2) Asy-Syeikh Muddassir Ibrahim.
3) Asy-Syeikh Ibrahim Abu Annur.
4) Asy-Syeikh Tayyib Abu Qinayah.
Dari India dan Pakistan:
1) Asy-Syeikh Abuul Wafa Al-Afghani Al-Hanafi.
2) Asy-Syeikh Abdul Mu'id Khan Hyderabadi.
3) Al-Imam Al'Arif Billah Mustafa Ridha Khan Al-Barelawi (Mufti India).
4) Asy-Syeikh Muhammad Syafi' Ad-Deobandi (Mufti Pakistan).
5) Asy-Syeikh Al-Muhaddis Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi.
6) Asy-Syeikh Maulana Zafar Ahmad Thanawi.
7) Asy-Syeikh Al-Muhaddis Habiburrahman Al-'Azami.
8) As-Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadawi.
Tidak bisa dipungkiri, luasnya ilmu dan kepandaian Abuya Al-Maliki adalah laksana lautan yang tak bertepi. Beliau seorang intelektual terkemuka, dosen dan guru besar di beberapa universitas Islam Internasional. Beliau juga sebagai pengajar dalam halaqah-halaqah tradisional. Beliau menyandang gelar Profesor Doktor di bidang ilmu hadis.
As-Sayyid Muhammad mendapat gelar kehormatan sebagai “Syeikh” dari para ulama masyhur di zamannya, dikarenakan banyaknya sanad dan ijazah yang beliau dapatkan, baik berupa ilmu ushul maupun ilmu furu'. Beliau juga mendapat gelar sebagai muhaddis, dikarenakan penguasaan dan pemahaman serta hafalan beliau tentang matan hadis, bahkan sanad dan perawi yang bersambung hingga Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam.
Asy-Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj, seorang Ulama Makkah, mengatakan, “Beliau adalah Al-'Arifbillah, seorang yang memiliki derajat tinggi di sisi Allah. Beliau seorang pakar hadis, maka tidaklah berlebihan jika saya mengatakan beliau sebagai Al-Muwatha' berjalan”.
Lidahnya sangat fasih kala berbicara selancar pena yang tergores dalam lembaran-lembaran kertas. Dalam mobil pribadi beliau terdapat meja dan mesin ketik elektronik untuk menulis gagasan dan pikiran beliau yang kemudian dibukukan.
Setelah ayah beliau wafat, pada tahun 1974 M beliau membuka pesantren di rumahnya di daerah Utaibiyyah, Makkah. Pesantren itu hanya menerima murid dari Indonesia. Seiring dengan bertambahnya murid yang belajar kepada beliau, pesantren tersebut kini pindah ke kawasan yang lebih luas namun agak jauh dari Masjidil Haram, di daerah Rushaifah di pinggiran Kota Makkah, yang kemudian dinamakan jalan Al-Maliki.
Pada tahun 1976 beliau pertama kali berkunjung ke Indonesia. Pada waktu itu sebagai delegasi Raja Khalid untuk menemui Presiden Soeharto guna membawa pesan-pesan rohani. Pada tahun 1981 beliau berkunjung kembali ke Indonesia dan seorang Kyai Besar asal Madura menikahkan beliau dengan putrinya. Maka sejak itu beliau sering berkunjung ke Indonesia.
Namun pada akhirnya As-Sayyid Muhammad Al-Maliki lama tak berkunjung lagi ke Indonesia hingga akhir hayatnya, ketika ditanya, beliau mengatakan sudah cukup para murid beliau yang berada di tanah air ini. Namun melalui jaringan para alumninya, dakwah beliau sampai ke umat Islam di Indonesia, termasuk buku-buku karya beliau yang beredar di berbagai pesantren yang berada di nusantara ini.
Dikutip dari buku "17 Habaib Berpengaruh di Indonesia"