Minggu, 14 Februari 2010

Imam Besar Ahlu Sunnah Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki : "Jangan Kafirkan Sesama Muslim !"

Menyikapi maraknya aksi adu domba antara sesama Muslim yang dipropagandakan musuh-musuh Islam wal Muslimin, Guru Besar; Sayyid Muhammad Alawi Al- Maliki -rahimahullah- telah jauh-jauh mengingatkan umat Islam agar tidak tertipu dengan tipu muslihat mereka. Musuh-musuh Islam wal Muslimin selalu mendapatkan kesempatan untuk mengadu domba dan memecah belah kesatuan barisan Umat Islam melalui sekelompok orang/ulama/penulis yang hanya pandai menyebarkan fitnah di tengah-tengah Umat Islam.

Beliau -rahimahullah- berkata:

لَقَدْ ابْتٌلِيْنا بِجماعَةٍ تَخَصَّصَتْ في تَوْزِيْعِ الْكُفْرِ و الشِرْكِ وَ إِصْدارِ الأحكامِ بِأَلْقابٍ وَ أوْصافٍ لا يَصِحُّ ولا يَلِيْقُ أَنْ تُطْلَقَ على مًسْلِمٍ يَشْهَدُ أنْ لآإلَهَ إِلاَّ الله، وَ أَنَّ محمَّدًا رسولُ اللهِ، كقولِ بَعْضِهِمْ ِفيْمَنْ يَخْتَلِفُ في الرَّأْيِو الْمَذْهَبِ مَعَهُ: مُخَرِّفٌ… دجالٌ…مُشَعْوِذٌ… مُبْتَدِعٌ.. وَ فِيْ النهايَةِ مُشْرِكٌ… و كافِرٌ.وَلَقَدْ سَمِعْنا كَثْيْرًا مِنْ السُّفَهاءِ الذيْنَ يَنْسِبُونَ أَنْفُسَهُمْ إلى العقِيْدَةِ يَكِيْلُونَ مثْلَ هَذِهِ الألْفاظِ جُزافًا، و يزِيْدُ بَعْضُ جَهَلَتِهِمْ بقَوْلِهِ: داعِيَةُ الشرْكِ و الضلالِ في هذهِ الأزْمانِ، مُجَدِّدُ مِلَّةِ عمْرِو بْنِ لُحَيْ الْمَدْعُو بِفُلان.

هكذا نَسْمَعُ بَعْضَ السُفَهاءِ يَكسلُ مثلَ هذا السَّبِّ و الشَّتْمِ ، و بِمِثْلِ هذه الألْفاظِ القَبِيْحَةِ التِيْ لا تَصْدُرُ إلاَّ عنِ

السُوْقَةِ الذيْنَ لَمْ يُجِيْدُوا أسْلُوبَ الدعْوَةِ و طَرِيْقَةَ الأَدَبِ في النِّقاشِ.بِ في النِّقاشِ.

“Kita benar-benar telah ditimpa bencana dengan sekelompok orang yang kerjanya khusus membagi-bagi tuduhan kafir dan syirik, dan mengeluarkan vonis dengan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak layak untuk dituduhkan kepada seorang Muslim yang bersyahadah bahwa ‘Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’, seperti ucapan sebagian dari mereka untuk orang yang berbeda pendapat atau berlainan madzhab‘ ‘ rusak akalnya… dajjâl/penipu… tukang sihir… ahli bid’ah… dan akhirnya musyrik … kafir.. .! Kita telah sering mendengar sebagian orang dungu yang mengaku-ngaku pembela akidah melontarkan tuduhan seperti itu dengan tanpa tanggung jawab, dan kaum bodoh dari mereka menambahkan dengan mengatakan: Penganjur kepada syikir dan kesesatan di zaman ini, pembaharu agama Amr bin Luhay yang bernama fulan!

Begitulah kita mendengar dari sebagian orang dungu melontarkan caci-maki dan cercaan dengan kata-kata yang jelek yang tidak selayaknya muncul kecuali dari orang pasaran yang tidak pandai menjalankan metode da’wah dan sopan santun dalam berdialoq.” (At Tahdzîr Min al Mujâzafah Bi at Takfîr:8)

Beliau -rahimahullah- juga menukil fatwa ad Dâ’i Ilallah, al Habib Ahmad Masyhûr al Haddâd yang mengingatkan kita agar menjauhkan diri dari mengafirkan Ahli Kiblah (kaum Muslimin): “Ijma’ telah tetap atas dilarangnya mengafirkan seorangpun dari Ahli Kiblah kecuali disebabkan mengingkari Allah, Dzat Maha Pencipta, atau kemusyrikan yang nyata yang tidak bias dita’wil, atau mengingkari kenabian atau mengingkari hal yang diketahui pasti dari agama, atau mengingkari yang pasti mutawâtir dari agama…”.(At Tahdzîr Min al Mujâzafah Bi at Takfîr:32 dari Syarh Asâs al Aqîdah al Islamiyah)

Jadi pengkafiran sesama kaum Muslimin dari berbagai Mazdahib Islamiyah adalah hasil kerjaan musuh-musuh Islam ! Dari madzhab manapun mereka adalah saudara kita, madzhab mereka adalah madzhab Islamiy. Beliau -rahimahullah- memperkenalkan kepada kita madzhab nama saja yang masih tergolong madzhab Islamiy :

فَإِنَّ كُتُبَ فِقْهِ الْمَذَاهِبِ الإسْلامِيَّةِ جَمْيْعَهَا مَشْحُوْنَةٌ و مَمْلُوءَةٌ ِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، فَانْظُرْ إِنْ شِئْتَ كُتُبَ الفِقْهِ الحَنَفِيْ، وانْظُرْ إِنْ شِئْتَ كُتُبَ الفِقْهِ المالِكِيْ، وَ كُتُبَ الفِقْهِ الشَّافِعِيْ و الْحَنْبَلِيْ، وَ انْظُرْ إِنْ شِئْتَ كُتُبَ الفِقْهِ الزَيْدِيْ و ألأباضِيْ و الجَعْفََرِيْ فَإِنَّكَ تَجِدْهُمْ قَدْ عَقَدُوا بابًا مَخْصُوْصًا في الزِّيارَةِ بَعْدَ أَبْوابِ الْمناسِكِ.

“Maka sebenarnya seluruh buku-buku fikih mazhab-mazhab Islamiyah penuh dengan masalah ini. Perhatikan, jika engkau mau buku-buku fikih (mazhab) Hanafi ! Perhatikan, jika engkau mau buku-buku fikih (mazhab) Maliki, dan buku-buku fikih (mazhab) Syafi’i dan Hanbali! Perhatikan, jika engkau mau buku-buku fikih (mazhab) Zaidi, Abadhi atau mazhab Ja’fari, engkau pasti temukan mereka menyusun sebuah bab khusus tentang ziarah (makam Nabi saw.) setelah bab-bab manasik (haji).” (Mafâhim Yajibu An Tushahhah:186)

Inilah madzhab-madzhab Islamiyah menurut Beliau, dan seluruh penganut madzhab-madzhab ini adalah saudara kita sesama Muslimin.[Sumber]

as-Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki: Pembina Calon Ulama’ Indonesia (5-TAMMAT)

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Mengenang As-Sayyid Muhammad `Alawi al-Maliki al-Hasani
‘Allamah daerah al-Hijaz

Sebuah kenangan pribadi oleh Shafiq Morton

Saat berita itu muncul bahwa Nabi Muhammad (s) telah wafat karena demam di Madinah, timbul ketidakpercayaan di antara para Sahabat. Sayyidina ‘Umar yang ketika itu hendak berangkat menuju Syria, mula-mula menolak untuk mempercayai berita bahwa Nabi (s) telah wafat.

Sungguh, rasa duka dapat mengambil beragam bentuk – penyangkalan, amarah, keputusasaan, dan tentu saja, kerusakan. Malaikat Maut adalah sesosok makhluk yang tak dapat diduga. Keterkejutan diri kita akan mendadaknya maut, suatu hal yang paling pasti setelah peristiwa kelahiran, adalah suatu bagian kemanusiaan diri kita.

Mungkin, karena insting pertama kita adalah untuk survive dan yang kedua adalah kenyamanan dari dunia ini. Kita memiliki pekerjaan, kita memiliki rumah, kita memiliki anak-anak, kita memiliki suatu kehidupan dan kita ingin hidup itu terus berlanjut. Singkat kata, kita tak ingin meninggalkan semua itu!

Namun pada Jumat, 14 Ramadan (1425 H, red.), sang daun telah gugur dari pohon Sayyid Muhammad al-Maliki dan Sang Malaikat Maut telah datang untuk mengambil satu di antara ulama terbesar di era modern ini.

Sayyid Muhammad adalah Grand-Shaikh saya, dan ketika berita wafatnya mulai menyeruak ke Cape Town di Jumat pagi, saya pun tak mempercayai apa yang baru saya dengar. Tak mungkin!

Saat kebenaran itu muncul di hadapan saya, saya pun amat terpukul. Kehilangan seorang Syaikh, mata air pengetahuan Anda dan penjaga jiwa Anda, adalah seperti kehilangan orang tua Anda.

Saya hanyalah seorang murid yang paling hina, namun ketika saya menulis ini, hati saya dipenuhi dengan citra yang lebih besar daripada kehidupan, citra Sayyid Muhammad… pemurah, menyejukkan dan bijaksana – sungguh suatu miniatur kopi dari kakek moyang beliau yang seorang Nabi – Sayyid Muhammad demikian baik pada diri saya walau beliau tak mengenal saya, dan demikian pemurah sekalipun di saat beliau tak mesti melakukannya bagi diri saya.

Nama-nama para Syaikh beliau di Makkah yang hebat-hebat pun melintas di hadapan mata saya, namun saya tak mampu memaksa diri saya menuliskan nama-nama itu. Merekalah otoritas (bidang agama, red.) di zaman mereka, dan mereka semua memberkati kejeniusan Sayyid Muhammad dengan totalitas barakah mereka. Dan pada gilirannya, pada barakah beliau-lah, saya ingin mengikatkan diri ini.

Judul-judul buku dan kitab karangan beliau (lebih dari seratus judul) berenang dalam alam kesadaran diri saya. Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan, salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red.) bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka.

Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan oleh ‘rumah Najd’ dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah.

Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ‘ilm (pengetahuan) dan tasawwuf. Saat kaum Salafi-Wahhabi mendiskreditkan beliau, beliau pun menulis lebih banyak buku dan mendirikan Zawiyyah beliau sendiri yang menjadi “United Nations” (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dari para ‘Ulama.

Akhirnya, protes dari dunia Muslim memaksa kaum Salafi-Wahhabi untuk menghentikan usaha mereka memeti-eskan sang ‘aliim kontemporer yang paling terkenal dalam mazhab Maliki ini. Beberapa di antara mereka bahkan mulai mendukung beliau, dan yang lain membenci beliau bahkan lebih dalam lagi.

Kedengkian mereka sebenarnya didorong oleh fakta bahwa Sayyid Muhammad al-Maliki jauh lebih unggul dari sekedar tandingan mereka. Hampir secara sendirian saja, beliau mengambil Islam Sunni dari klaim tangan-tangan Neo-Khawarij Salafi-Wahhabi dan menempatkannya kembali ke tangan mayoritas ummat ini.

Melalui berbagai karya-karyanya yang menonjol, beliau menyuntikkan kepercayaan diri yang amat dibutuhkan dalam per‘debat’an saat kaum jahil dan pseudo-tradisionalis yang mengandalkan ijtihad-pribadi mulai meracuni mainstream Islam.

Saya dapat menuliskan lebih banyak dan lebih banyak lagi tentang hal ini. Sayyid Muhammad telah mencapai banyak hal dalam 60 tahun hidupnya yang singkat bersama kita. Hidupnya tentu saja tidaklah hanya berisi peperangan intelektualnya melawan kaum Wahabi. Adalah kemampuannya untuk melihat kebaikan yang demikian menyentuh hati.

Saat waktu-waktu fajar mulai terbit, saya pun berjuang mencari kata-kata. Ingatan akan Sayyid Muhammad tetap memenuhi ruangan saya. Seakan-akan beliau tengah melihat melalui bahu saya, dengan tongkat yang terpegang di satu tangan, dan tasbih hitam di tangan yang lain, senyumannya, wajahnya yang bercahaya dibingkai oleh lilitan turban hijau.

Saya tahu diri saya egois, namun saya hanya mampu mengekspresikan kehilangan atas beliau dengan becermin tentang arti beliau bagi diri hina ini. Semata ini karena Sayyid Muhammad selalu menyirami diri saya, yang bukan siapa-siapa sama sekali ini, dengan berbagai hadiah kapan pun saya berkunjung menemui beliau.

Tentu saja, itu bukan karena favoritisme – jauh dari hal itu sama sekali – melainkan itulah Sunnah dari Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam. Bagi seseorang yang baru masuk dalam Islam seperti saya, Sayyid Muhammad demikian dalam perhatiannya sebagaimana sang Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam melakukan hal yang sama bagi mereka yang baru memeluk Din ini.

Namun, adalah karena sifat dari hadiah itu yang demikian bermakna, dan di waktu yang sama, sangat tipikal dari seseorang seperti Sayyid Muhammad.

Saya memandangi hadiah-hadiah itu dengan penuh ketakjuban. Mereka bersama-sama datang bagi diri ini untuk mensimbolisasikan sesuatu yang demikian agung, karena melalui hadiah-hadiah beliau, beliau telah memberikan pada saya suatu dunia. Beliau mestilah kini tengah tersenyum di alam barzakh saat saya menggosokkan jari-jari ini pada kebenaran! (tentang hadiah-hadiah itu, red.)

Saya teringat akan sepotong kain kiswah (kain penutup ka’bah, red.) yang tersimpan dalam secarik amplop. Saat saya pandang jahitan-jahitan hitam gelapnya, saya tersadar bahwa kain hitam ini bermakna bagaikan arah, untuk Qiblah yang harus ada dalam hati saya. Saya membuka halaman-halaman Quran wangi hadiah beliau. Inilah al-Furqan, Kriteria yang mesti saya bawa selama hidup ini.

Saya pun teringat akan jubah dan fez Maroko yang tersimpan dalam lemari, inilah pakaian-pakaian Perlindungan yang mesti saya kenakan. Di atas meja saya, “kitab hijau” berisi doa-doa karya beliau yang demikian terkenal, Syawariq ul-Anwar (Lampu-lampu yang Bersinar) adalah Sarana-sarana. Dalam laci saya, tersimpar pena emas yang beliau berikan pada diri saya, suatu alat Senjata yang jauh lebih tajam daripada sebilah pedang.

Saya terkesima akan kebijaksanaannya. Sebuah e-mail tiba dari Saudi Arabia. Fakhruddin Owaisi al-Madani melukiskan janazah Sayyid Muhammad dengan detail yang mengharukan. Demikian besar proses pemakaman beliau hingga prosesi janazah tersebut memanjang dari Masjidil Haram hingga pekuburan Jannat ul-Ma’la. [Dikatakan lebih dari 300.000 orang menghadiri salat jenazah beliau.]

“Makkah menangis baginya, Arabia tengah menangisi kepergiannya… seluruh dunia Islam menangis bagi dirinya,” tulis Fakhruddin, “semoga Allah mengkaruniakan padanya (Sayyid Muhammad) Jannah tertinggi di samping kakenda tercinta beliau, Sayyidina Rasulullah sallaAllahu ‘alayhi wasallam.”

Ketika saya telan kembali air mata yang tengah berguguran ini, yang bisa saya ucapkan hanyalah “Aamiiin!”

حدثنا هارون بن اسحاق الهمداني، أخبرنا عبدة بن سليمان عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عبد اللّه بن عمرو بن العاص قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: إن اللّه لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا “. (رواه البخاري في كتاب العلْم و مسلْم)

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr ibn al-‘As bahwa Nabi SallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda:

“Allah tak akan mencabut ilmu dari hati para ulama, tapi Ia mencabut para ulama tersebut (mereka wafat). Tak akan ada lagi ulama tersisa untuk mengambil alih tempat mereka sehingga manusia akan mengambil orang-orang yang amat jahil sebagai pemimpinnya. Pemimpin-pemimpin jahil itu akan ditanyai masalah-masalah, dan mereka akan memberikan fatwa tanpa pengetahuan (ilmu). Mereka tersesatkan dan menyesatkan yang lainnya.” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Kitab ul-'ilmi dan Riwayat Muslim]

***

TAMMAT

as-Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki: Pembina Calon Ulama’ Indonesia (4)

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Sayid Muhammad Al-Maliki
Ulama Kenamaan Makkah

Berita dukacita datang dari kota suci Mekkah. Sayid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Alhasani, wafat pada 15 Ramadhan 1425 H, bertepatan dengan tanggal 29 Oktober 2004. Meninggalnya ulama kelahiran Mekkah tahun 1943 (1362H) cukup mengejutkan warga kota Mekkah, khususnya para mukimin Indonesia yang tinggal di Kota Suci itu. Karena, ulama yang menjadi panutan para kyai di banyak negara ini, sebelum menghembuskan nafas terakhir masih menunaikan shalat subuh di kediamannya.

Ketika jenazah Sayid Muhammad Al Maliki hendak dishalatkan di Masjidil Haram, ribuan warga kota Mekkah bergantian menggusung jenazahnya. Dikabarkan sejumlah warga Afrika banyak yang menangis dan histeris. Sementara toko-toko di sekitar Masjidul Haram yang dilewati jenazah mematikan lampu sebagai tanda dukacita.

Jenazah almarhum di makamkan di pemakaman Ma’la di Mekkah, berdekatan dengan makam Sayidatina Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW. Harian Arab Saudi Okaz sengaja mengetengahkan tiga halaman suratkabarnya untuk memuat kegiatan, aktivitas, dan biografi almarhum.

Kebesaran Al Maliki, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara Afrika, Mesir, dan Asia Tenggara. Ayahnya Sayid Alwi Al Maliki adalah guru dari pendiri NU, KH Hasyim Ashari. Dia juga pernah menjadi guru besar di Masjidil Haram pada 1930-an dan 40-an. Banyak ulama sepuh dari Nahdlatul Ulama (NU) yang menimba ilmu dari Sayid Alwi Al-Maliki. Sepeninggal Sayid Alwi, kiprahnya dilanjutkan oleh Sayid Muhammad Al-Maliki.

Sayid Alwi juga pernah mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Almarhum ayahnya ini dulu tinggal di Aziziah, yang tidak jauh dari Masjidil Haram. Di masjid yang dijadikan sebagai kiblat umat Islam ini, Sayid Alwi mengajar murid-muridnya yang datang dari berbagai negara, termasuk para jamaah dari Indonesia. Warga Betawi sendiri pada masa-masa itu, banyak mengirimkan anak-anak mereka belajar ke tanah Hejaz (sebutan Kerajaan Arab Saudi kala itu).

Ketika dua tahun lalu saya berkunjung di kediamannya di Rushaifah sekitar empat kilometer dari Masjidil Haram, terlihat ratusan muridnya yang berdiam di pesantren dan sekaligus kediamannya. Banyak diantara mereka yang berasal dari Indonesia. Di samping dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan sejumlah negara di Afrika.

Ketua Umum DPP PAN Amien Rais pernah berkunjung ke Sayid Muhammad Al-Maliki. Demikian pula Hamzah Haz saat masih menjabat sebagai wakil presiden. Banyak ulama Indonesia, saat melaksanakan ibadah haji dan umrah, selalu sowan ke rumah Al Maliki.

Almarhum yang telah beberapa kali ke Indonesia dan murid-muridnya mempunyai banyak pesantren di pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera, punya perhatian khusus pada Indonesia. Seperti saat Hamzah Haz tahun lalu mengunjunginya, di hadapan para ulama Mekkah dan berbagai negara Islam, ia berdoa agar bangsa Indonesia dipersatukan Allah, dan tidak bercerai berai.

Di depan kediamannya, terdapat sebuah masjid cukup besar. Sementara di bagian dalam, terdapat sebuah lapangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu dalam jumlah besar. Boleh dikata Al-Maliki tidak pernah sepi menerima banyak tamu tiap hari. Al-Maliki yang murah senyum dan berwajah tampan, ketika itu, tengah mengadakan pertemuan dengan sejumlah ulama, di antaranya dari Afrika dan Eropa. Pertemuan silaturahmi semacam ini hampir tiap malam dilakukan.

Dalam pertemuan itu dibacakan maulid Nabi Muhammad SAW, yang boleh dikatakan jarang terjadi di Arab Saudi. Menurut keterangan, di antara murid-muridnya itu banyak para mukimin asal Indonesia yang telah menjadi warga Arab Saudi. Biasanya, setelah shalat Isya para tamu kemudian makan bersama berupa nasi kebuli. Satu nampan besar umumnya dihidangkan untuk 5 hingga 6 orang. Almarhum yang pada tahun 1970-an dan 1980-an kerap berkunjung ke Indonesia. Ia singgah di berbagai pesantren dan perguruan Islam di Indonesia. Ia juga pernah beberapa kali berkunjung ke Majelis Taklim Kwitang, Attahiriyah, dan Assyafiiyah.

Tak henti belajar

Sayid Muhammad Al Maliki memulai pendidikan di Masjidil Haram, tempat ayahnya pernah mengajar. Kemudian dilanjutkan di sekolah Tahfidil Quran. Masih dalam usia muda, Sayid yang tidak pernah bosan menempa ilmu itu kemudian berkeliling ke India dan Pakistan. Di sini ia belajar di kota Bombay, Hederabad, dan Karachi dari ulama di kota-kota tersebut.

Ia kemudian melanjutkan pelajarannya di Universitas Al-Azhar Bidang Usuluddin dan mendapat gelar doktor. Dari Al-Azhar ia melanjutkan pendidikan ke Maroko dan beberapa negara Afrika Utara. Setelah ayahnya wafat, pada 1971 ia menjadi guru besar di Masjidil Haram. Sebelumnya menjadi dosen syariah di Universitas Makkah Mukarommah. Ia juga pernah dipilih sebagai ketua penelitian internasional dalam perlombaan MTQ pada pertengahan tahun 1970-an.
Sayid Muhammad Al Maliki mendirikan tidak kurang 30 buah pesantren dan sekolah di Asia Tenggara. Karangannya mencapai puluhan kitab mengenai usuluddin, syariah, fikih dan sejarah Nabi Muhammad. Ia mendapat gelar profesor dari Universitas Al-Azhar pada tanggal 6 Mei 2000. Ratusan murid yang menampa pendidikan di pesantrennya, biaya makan dan pemondokan ditanggungnya, alias gratis.

Menurut Habib Abdurahman A Basurrah, wakil sekjen Rabithah Alawiyah yang lama mukim di Arab Saudi, di Indonesia di antara murid-murid Al-Maliki banyak yang menjadi ulama terkenal dan pendiri dari berbagai pesantren. Murid-muridnya itu antara lain Habib Abdulkadir Alhadad, pengurus Al-Hawi di Condet, Jakarta Timur; Habib Hud Baqir Alatas pimpinan majelis taklim As-Shalafiah; Habib Saleh bin Muhammad Alhabsji; Habib Naqib Bin Syechbubakar yang memimpin majelis taklim di Bekasi; Novel Abdullah Alkaff yang membuka pesantren di Parangkuda, Sukabumi.

Di antara ulama Betawi lainnya yang pernah menimba ilmu di Makkah adalah KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah madrasah/pesantren masing-masing di Tebet, Jakarta Timur, dan dua di Depok. Masih belasan pesantren dan madrasah di Indonesia yang pendirinya adalah alumni dari Al-Maliki. Seperti KH Ihya Ulumuddin yang memiliki pesantren di Batu, Malang. Demikian pula Pesantren Riyadul Solihin di Ketapang (Probolinggo), dan Pondok Pesantren Genggong, juga di Probolinggo.

( alwi shahab )

Sumber: Harian Republika

Baca tulisan bagian ke-5, kesan mendalam seorang murid mu’allaf Sayyid Muhammad ketika mendengar wafatnya beliau…

as-Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki: Pembina Calon Ulama’ Indonesia (3)

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…


“AS-SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI”

oleh Hasan Husen Assagaf

Makkah dan dunia Islam menangis, jumat 15 Ramadhan. Setelah azan
subuh dikumandangkan dan sholat subuh didirikan di Masjidil Haram-
Makkah, tersiarlah berita bahwa Sayyid Mohammad bin Alwi Almaliki,
wafat. Beliau meninggal sekitar pukul 6 pagi di salah satu rumah
sakit di Makkah, setelah beberapa jam saja berjuang melawan penyakit
yang datang secara mendadak. Berita itu membuat cukup kabut
keluarga, murid-muridnya, dan masyarakat Makkah yang tengah
menunggu kepulihan kembali kesehatan beliau. Tapi sebaliknya berita
yang didengar adalah wafatnya beliau. Ini benar-benar yang membuat
mereka menjadi kalang kabut.

Begitu mendengar berita duka dari mulut ke mulut, ribuan masyarakat
pencinta beliau panik. Mereka kalang-kabut dan berbondong-bondong
menyerbu rumah kediaman beliau untuk menyaksikan kebenaran wafatnya
beliau yang secara mendadak. Karena mereka hampir tidak percaya
dengan berita itu. Suasana pun tambah panik lagi pagi itu setelah
jasad Almarhum dibawa dari rumah sakit ke rumah beliau.

Ribuan orang berduyun-duyun ke rumah beliau ingin menyaksikan
jenazah Almarhum secara langsung. Kepanikan warga Makkah itu membuat
macet lalu-lintas. Jalan menuju Hay al Rashifah, rumah kediaman beliau, dipadati kendaraan dan manusia. Itulah sekedar info yang saya dapatkan dari kawan-kawan saya di Makkah disaat kepulangan
Sayyid Muhammad Almaliki ke rahmatullah pada hari Jumat lalu.

Beberapa jam sebelum kepulangan beliau ke rahmatullah, tidak sedikit masyarakat dan santri datang seperti biasa ke rumahnya di hay Rashifah Makkah untuk mendengarkan wejangan dan ceramah Ramadhan yang biasa di berikan setiap hari usai sholat tarawih. Mereka semua mendunggu ceramah dan nafahat ramadhaniyah khususnya ceramah tentang perang Badar yang dijanjikan beliau akan diutarakannya pada pertengahan bulan yang suci Ramadhan.

Akan tetapi Allah telah merencanakan kematian beliau di hari itu yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Pada saat itu Sayyid Mohammad bin Alwi al Maliki mendapatkan serangan jantung secara mendadak dan
segera dibawa kerumah sakit. Hanya beberapa jam saja beliau tinggal
di rumah sakit dan dengan kesedihan yang dalam diberitakan beliau
telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Untuk mengenang jasa-jasa beliau yang begitu besar bagi umat Islam,
saya ringkaskan dibawah ini sekelumit kisah beliau yang diketahui,
adapun yang tidak diketahui lebih banyak dari yang diketahui.

Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki lahir di makkah tahun 1365H.
Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah –Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki sebagai guru agama di sekolah
tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki yang tempatnya sangat masyhur dekat Bab As-salam

Ayah beliau, Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki (kelahiran Makkah th
1328H), seorang alim ulama terkenal dan ternama di kota Makkah.
Disamping aktif dalam berdawah baik di Masjidil Haram atau di kota
kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif,
Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki adalah seorang alim ulama yang
pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah salat Jumat
dengan judul “Hadist al-Jumah”
. Begitu pula ayah beliau adalah
seorang Qadhi yang selalu di panggil masyarakat Makkah jika ada
perayaan pernikahan.

Selama menjalankan tugas da’wah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaiki
selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas
. Mereka berdua
selalu mendampinginya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di
Makkah atau di luar kota Makkah. Adapun yang meneruskan perjalanan
dakwah setelah wafat beliau adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki
dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan
ayahnya.

Sebagaimana adat para Sadah [1] dan Asyraf [2] ahli Makkah, Sayyid Alwi Almaliki selalu menggunakan pakaian yang berlainan dengan ulama yang
berada di sekitarnya. Beliau selalu mengenakan jubbah, serban
(imamah) dan burdah atau rida yang biasa digunakan dan dikenakan
Asyraf Makkah.

Setelah wafat Sayyid Alwi Almaiki, anaknya Sayyid Muhammad tampil
sebagai penerus ayahnya. Dan sebelumnya ia selalu mendapatkan
sedikit kesulitan karena ia merasa belum siap untuk menjadi pengganti
ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah ia melanjutkan
studi dan ta’limnya terlebih dahulu. Beliau berangkat ke Kairo dan
Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihanya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidi Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universiatas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil menggarap untuk membuka majlis ta’lim dan pondok di rumah beliau.

Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjid haram atau di rumah
beliau tidak berpoin kepada ilmu tertentu seperti di Universitas.
Akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua
masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima
dan semua bisa mencicipi apa yang diberikan Sayyid Maliki. Maka dari
itu beliau selalu menitik-beratkan untuk membuat rumah yang lebih
besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa
dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al
Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya beliau
selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa
memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan
murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua
mencicipi ilmu bersama-sama. Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di mana negara saja kita dapatkan murid beliau, di India,
Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan
sebagai orbit dahwah sayid Muhammad Almaliki, ribuan murid murid
beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak
sedikit dari murid2 beliau yang masuk ke dalam pemerintahan
.

Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari
pula beliau telah berusaha mendirikan pondok yang jumlah santrinya
tidak sedikit, semua berdatangan dari seluruh penjuru dunia,
belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang
saku
. Setelah beberapa tahun belajar para santri dipulangkan ke
negara-negara mereka untuk menyiarkan agama.

Sayid Muhammad Almaliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya atau tidak searah dengan thariqahnya. Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat baik dengan pemikirannya atau dengan alirianya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan menklirkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang
jitu bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan
berkesudahan. Beliau tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada
pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh
Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari
kedudukannya baik di Universitas dan ta’lim beliau di masjidil
Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan
bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak
bersependapat dan sealiran dengannya,
semasih mereka memiliki
pandangan khilaf yang bersumber dari al-Quran dan Sunah. Adapun
ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alwi
Almaliki, mereka pintar-pintar dan terpelajar. Di samping menguasai
bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk
dijadikan marja’ dan reference di negara-negara mereka.

Pada akhir hayatnya yang berkenaan dengan adanya kejadian teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil
Haram Syeikh sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti “Hiwar Fikri” di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 Dhul Q’idah 1424 H dengan judul “Al-qhuluw wal I’tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah”, di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist. Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul “Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama”. Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da’wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas.

Pada tg 11/11/1424, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan
ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang
isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara
ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da’wah.

Di samping tugas beliau sebagai da’i, pengajar, pembibing, dosen,
penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermangfaat bagi agama,
beliau pula seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang
dari 100 buku yang telah dikarangnya
, semuanya beredar di seluruh
dunia. Tidak sedikit dari kitab2 beliau yang beredar telah
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll.

Beliau wafat meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alwi, Ali, al-
Hasan dan al-Husen dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut
satu persatu disini .

Beliau wafat hari jumat tg 15 ramadhan 1425 dan dimakamkan di
pemakaman Al-Ma’la disamping kuburan istri Rasulallah Khadijah binti
Khuailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat
muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat,
ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari
luar Makkah atau dari luar negri. Semuanya menyaksikan hari terakhir
beliau sebelum disemayamkan, semua menyaksikan janazah beliau
setelah disembahyangkan di Masjidil Haram ba’da sholat isya yang
dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama
tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin
mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza’. Dan di hari
terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan
Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan
belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama
yang tidak bisa dilupakan umat.

Selamat tinggal ayah yang berhati baik. Selamat tinggal sosok tubuh
yang pernah menanamkan hikmah, ilmu, teladan dihati hati kami.
Selamat tinggal pemimpin umat yang tak bisa kami lupakan dalam
pendiriannya dan keikhlasannya. Selamat tinggal pahlawan yang jujur,
ikhlas dalam amal dan perbuatanya. Selamat jalan… selamat jalan,..
kebaikan dan kemulyaan kamu telah meliputimu semasa hidupmu dan
disaat wafatmu. Kamu telah hidupi hari hari mu didunia dengan mulia,
dan sekarang kamu telah terima imbalannya disaat wafatmu pula dengan
mulia. Jika sekarang kita telah berpisah untuk sementara, maka kami
pasti akan menyusulmu Insya Allah dan kita pasti akan bertemu dan
berkumpul kembali.

Assalamualaikum
Hasan Husen Assagaf.
20 Ramadhan 1425H

Catatan Kaki:

[1] Sadah, bentuk plural (jamak) dari Sayyid, di daerah Hijaz, khususnya Makkah Madinah berarti keturunan Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wa aalihi wasahbihi wasallam, yang biasa menjadi ‘aliim ulama’.
[2] Asyraf, bentuk plural (jamak) dari Syarif, di daerah Hijaz, khususnya Makkah Madinah, berarti keturunan Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wa aalihi wasahbih wasallam, yang biasa menjadi penguasa/pimpinan (sebelum munculnya Dinasti Sa’ud).

Baca tulisan bagian ke-4, tentang hubungan erat Sayyid Muhammad dengan para ulama dan kyai di Indonesia…

as-Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki: Pembina Calon Ulama’ Indonesia (2)

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Sebelum Meninggal Kumpulkan Santri, In Memoriam Sayid Muhammad

Tahashshontu Bidzil Mulki Walmalakuut. Wa’tasomtu Bidzil ‘Izaati
Waljabaruut. Watawakkaltu ‘alal Maliki…

SETIDAK-TIDAKNYA saya mendapatkan ijazah tiga hizib dari Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Alhasani Makkah, ketika sowan kali pertama, musim haji tahun 2003. Potongan bait di atas adalah Hizib Nashor atau “Hizbun Nashor”. Dua hizib yang lain yaitu “Hizbun Nawawi” dan “Hizbul Bahr”. Ketiganya termuat dalam kitab kecil karya Sayid Muhammad “Syawariqul Anwar”. Selain memuat hizib, dalam kitab tersebut juga terdapat catatan “Istighfar Alkabir”, “Alwirdul Latif”, “Ratibul Imam” dan lain-lain.

Ketika sowan Sayid di rumahnya, Jalan AlMaliki, kawasan Rusyaifah,
sekitar 8 km arah Selatan Masjidil Haram, Makkah, saya ditemani KH
Maemun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Karangmangu,
Sarang, Rembang dan Drs HM Chabib Thoha MA, Kakanwil Depag Jateng.

Nama Sayid Muhammad di kalangan kiai dan ulama Indonesia sangat
akrab. Bahkan Kiai Maemun menuturkan pernah menjadi santri ayah Sayid
Muhammad yaitu Sayid Abbas. Maka kabar meninggalnya Sayid Muhammad,
Jumat dini hari lalu (29/10/2004) mengagetkan para kiai dan ulama.

Sejumlah kiai yang tengah menunaikan umroh Ramadan tidak kalah
kagetnya. “Kami berencana sowan Kamis malam. Bahkan sudah janjian
lewat santri Sayid di rumahnya. Belum sempat sowan, Jumat dini hari
sudah dipanggil Allah Subhanahu Wataala,” tutur KH Abdul Wahid Zuhdi
sambil terbata-bata melalui telepon.

Wakil Rois Syuriyah PWNU Jateng yang kini memimpin pesantren di
Bandungsari Grobogan itu, pernah menjadi santri di rubat (pesantren) milik Sayid Muhammad. “Tolong diumumkan di Indonesia dan shalat ghaib untuk Sayid,” pesan Gus Wahid.

Agar Diamalkan

Kiai Maemun Zubair berpesan agar hizib dan doa-doa yang diijazahkan
Sayid diamalkan. “Insya Allah bermanfaat Gus,” katanya.

Ketika mendengar Sayid Muhammad meninggal, saya hanya bisa menangis
sambil mendekat erat-erat Kitab “Syawariqul Anwar”-nya Sayid.

Menurut Mbah Maemun, hizib-hizib itu mempunyai fungsi yang berbeda-
beda. Pengaruhnya menjadi sangat luar biasa tergantung dari sasaran
dan tujuannya. Makanya di kalangan pesantren, tidak sembarangan kiai
memberikan ijazah hizib kepada santrinya. Untuk mendapatkannya, ada
yang harus melewati ritual seperti puasa, riyadhah dan lain-lain.

Sebelum meninggal, kata Gus Rouf (Abdul Rouf), putra KH Maemun Zubair yang masih menjadi santri Sayid Muhammad, ulama terkemuka di Makkah itu seolah-olah tahu akan dipanggil Sang Khalik. Buktinya beberapa jam sebelumnya Sayid sempat mengumpulkan para santri dan memberikan wejangan.

Ratusan santrinya, sebagian besar berasal dari Indonesia. Menurut
Mbah Maemun, mereka tidak dipungut biaya serupiah pun. Bahkan tiap
santri mendapat uang saku sari Sayid tiap bulan 200 real (sekitar Rp
500.000).

Yang menarik lagi, hampir setiap tamu yang bersilaturahim ke rumah,
pulangnya pasti diberi oleh-oleh. Mungkin kitab-kitab atau makanan
bahkan uang.

Kali kedua bertemu Sayid Muhammad, Ramadan tahun lalu saya sudah
lebih percaya diri. Kalau kunjungan pertama ditemani Mbah Maemun
Zubair dan Drs HM Chabib Thoha MA, kunjungan kedua diantar Gus Wahid.

Saya merasa lebih senang dan tidak lagi deg-degan seperti kunjungan
pertama. Mengapa? Karena di dekat saya ada 80 kiai NU dan pengasuh
Pondok Pesantren se-Jateng yang jagoan berkomunikasi dalam Bahasa
Arab.

(Agus Fathuddin Yusuf-33)

dari Suara Merdeka

#####

Sayid Muhammad Meninggal Dunia

SEMARANG - Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Ulama Besar Makkah (Min Kibaril Ulamail Makkah) Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas Almaliki Alhasani, Jumat pagi (Waktu Arab Saudi) wafat. Sejumlah kiai dan ulama dari Jateng yang tengah menunaikan ibadah umrah Ramadan, bertakziah ke rumah duka, kawasan Rusyaifah, Jl Maliki, sekitar 8 km dari Masjidil Haram, Makkah.

Pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah, Suburan Mranggen, KH Hanif
Muslih Lc melalui telepon internasional kepada Suara Merdeka menjelaskan, Sayid Muhammad wafat sekitar pukul 04.00 (Waktu
Arab Saudi). “Yang sangat luar biasa, beliau wafat hari Jumat di
bulan suci Ramadan,” katanya.

Kamis malam, sehari sebelum wafat, para kiai dipimpin KH Abdul Wahid Zuhdi (Gus Wahid) Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, bermaksud
silaturahmi ke kediaman Sayid. Namun, menurut salah seorang
santrinya, Abdul Rouf (Gus Rouf) Sayid tengah pergi ke suatu tempat
yang dirahasiakan. Gus Rouf adalah putra KH Maemun Zubair yang telah
menjadi santri kepercayaan Sayid Muhammad di Makkah beberapa tahun
lamanya. Gus Wahid sendiri pernah menjadi santri Sayid selama tiga
tahun sebelum pulang memimpin pondok di Bandungsari, Grobogan. (B13,
amp-63)

dari Suara Merdeka

Baca tulisan bagian ke-3, kenangan dan biografi beliau dari seorang murid beliau…

as-Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki: Pembina Calon Ulama’ Indonesia (1)

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Berbicara tentang pesantren di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, serta para kyai dan ulama pengasuhnya, tak bisa dilepaskan dari sang ‘aliim dari Makkah ini, (Almarhum) as-Sayyid As-Syaikh Muhammad ibn ‘Alawi ibn ‘Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki. Seorang ‘aliim yang mewarisi pekerjaan dakwah ayahanda dan kakekndanya, membina para santri dari berbagai daerah dan negara di dunia Islam, di tanah suci ummat Islam, Makkah al-Mukarromah. Ayahanda (atau mungkin Kakeknda) beliau adalah salah satu guru dari ulama-ulama sepuh di Indonesia, seperti Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, KH. Abdullah Faqih Langitan, dan lain-lain. Dunia Islam kehilangan salah satu ulama terbesarnya di abad ini, setelah wafatnya beliau medio Ramadan tahun 1425H yang lalu. Muslimdelft.nl menampilkan biografi beliau, sebagai ulama pertama dari luar Indonesia yang kami muat di rubrik biografi ini. Insya Allah, kita akan membaca beberapa kenangan dan kisah hidup beliau dari beberapa murid dan santri yang pernah mendapatkan ilmu dan barakah lewat beliau. Selamat membaca dan menikmati!


Tentang as-Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi

oleh Dr. G. F. Haddad

As-Syaikh as-Sayyid Dr. Muhammad ibn as-Sayyid ‘Alawi ibn as-Sayyid ‘Abbas ibn as-Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asY-Syadzili adalah seorang pendidik Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan cahaya dari Rumah Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam di zaman kita saat ini, seorang ‘alim kontemporer dalam ilmu hadits, ‘alim mufassir (penafsir) Quran, Fiqh, doktrin (‘aqidah), tasawwuf, dam biografi Nabawi (sirah), beliau saat ini adalah otoritas yang paling dihormati di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Ibu dari segala kota. Baik ayahandanya (wafat 1971 CE) maupun kakek beliau adalah para imam dan pimpinan para khatib (penceramah) di Kota Suci Makkah., seperti juga Sayyid Muhammad sendiri sejak permulaan 1971 hingga 1983, saat mana beliau dicekal dari kedudukannya setelah penerbitan kitab beliau Mafahim Yujib an Tusahhah.

Sayyid Muhammad dididik semenjak kecil oleh ayahanda beliau dalam sumber-sumber keislaman, selain pula oleh ulama-ulama Makkah terkemuka lainnya, seperti Sayyid Amin Kutbi, Hassan Masshat, Muhammad Nur Sayf, Sa’id Yamani, dan lain-lain. Beliau memperoleh gelar Ph.D-nya dalam Studi Hadits dengan penghargaan tertinggi dari Jami’ al-Azhar di Mesir, saat beliau baru berusia dua puluh lima tahun. Beliau kemudian melakukan perjalanan dalam rangka mengejar studi Hadits ke Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, Yaman, dan juga anak benua Indo-Pakistani, dan memperoleh sertifikasi mengajar (ijazat) dan rantai transmissi (isnad) dari Imam Habib Ahmad Mashhur al-Haddad, Syaikh Hasanayn Makhluf, Ghumari bersaudara dari Marokko, Syaikh Dya’uddin Qadiri di Madinah, Mawlana Zakariyya Kandihlawi, dan banyak lainnya.

Shaykh Sayyid Muhammad telah mengarang lebih dari seratus buku, monograf, dan artikel-artikel dan bahasa Arab tentang berbagai topic dalam ilmu-ilmu keislaman. Di antara karya-karya beliau yang paling terkenal, adalah:

· Abwab al-Faraj (“Gerbang-gerbang Pengiriman”) [Kairo: Dar al-Ja’fari, tanpa tahun], sebuah manual yang mendeskripsikan tentang doa munajah, dan bacaan untuk berbagai situasi dari Qur’an, Sunnah, dan para Imam Islam, disertai deskripsi akan adab/tata cara bagi sang pendoa. Buku ini berisi pula resep yang berharga untuk membaca Fatihah secara sering.

· Al Anwar al-Bahiyyah min Isra’ wa Mi’raj Khayr al-Bariyya (“Cahaya-cahaya Menakjubkan dari Perjalanan Malam dan Naiknya Sang Ciptaan Terbaik”) [edisi kedua, Riyadh: tanpa penerbit, 1998], sebuah monograph yang mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat sahih tentang perjalanan malam (Isra’) Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam serta naiknya beliau ke langit (Mi’raj) dalam suatu narasi tunggal.

· Al-Bayan wa at-Ta’rif fi Dzikra al-Mawlid as-Syarif (“Penjelasan dan Definisi Perayaan Mawlid yang Mulia”) [diterbitkan as-Sayyid Muhammad Alawi 1995], sebuah antologi singkat akan teks dan sya’ir yang terkait dengan subjek Mawlid.

· Hawl al-Ihtifal bi Dzikra al-Mawlid an-Nabawi as-Syarif (“Berkaitan dengan Peringatan Hari Kelahiran Nabi sall-allahu ‘alaihi wasallam”) [ed. 10, Cairo: Dar Jawami’ al-Kalim, 1998], kumpulan detail dari bukti dan dalil yang diajukan ulama akan kebolehan merayakan mawlid. [untuk topik ini, lihat pula kitab karya ‘Izz ad-Din Husayn as-Syaikh, al-Adilla as-Syar’iyya fi Jawaz al-Ihtifal bi Milad Khayrul Bariyya] (1993).

· Al-Husun al-Mani’a (“Benteng-genteng Tak Terkalahkan”), sebuah buklet tentang ibadah harian yang dipilih dari Sunnah dan praktek para Salaf.

· Huwa Allah (“(Dia adalah Allah)”), sebuah statement akan doktrin Sunni untuk menolak penyimpangan kaum anthropomorphisme (mujassimah).

· Khulasa Shawariq al-Anwar min Ad’iya as-Sada al-Akhyar (“Ringkasan Cahaya-cahaya yang Terbit dari Doa-doa Shuyukh Terpilih”), sebuah manual munajat diambil dari Sunnah dan para Imam Islam. Berisi antara lain doa-doa bernilai tinggi, seperti hizb Imam an-Nawawi yang dimulai dengan kata-kata:

Dengan nama Allah, Allah Maha Besar! Aku berkata atas diriku, agamaku, istri-istriku, anak-anakku, hartaku, teman-temanku, Agama mereka, dan harta mereka, seribu kali “Tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Tinggi Yang Agung.”

· Al-Madh an-Nabawi Bayn al-Ghuluww wa al-Insaf (“Pujian pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, Antara Berlebihan dan Kepantasan”) [Kairo: Dar Wahdan, tanpa tanggal], sebuah studi dengan contoh-contoh dari Qur’an, Hadits, Komentar-komentar, dan sya’ir menunjukkan bahwa memuji Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah bagian dari kesempurnaan Islam seseorang, dan bukannya sebagaimana kalian mereka yang dengki, berlawanan dengan hadits: “Jangan memujiku berlebihan (laa tutruunii) seperti kaum Kristen memuji berlebihan ‘Isa bin Maryam [yaitu dengan menuhankannya].” [diriwayatkan dari ‘Umar oleh Bukhari, Ahmad, Malik, dan ad-Darimi].

· Mafahim Yujib an Tusahhah (“Koreksi-koreksi yang Perlu atas Beberapa Kesalahpahaman”) [ed. 10, Madinah 1999], mungkin adalah pernyataan kontemporer paling penting dari Ahl as-Sunnah atas ajaran-ajaran “Salafi”. Dalam buku ini, Syaikh Muhammad ibn ‘Alawi menuliskan bukti-bukti dan posisi dari Imam-Imam AhlusSunnah terhadap topik-topik seperti tasawwuf, tawassul, syafa’at Nabi Sall-Allahu ‘alaihi wasallam, peringatan hari kelahiran beliau atau Mawlid, mazhab Asy’ari, dan lain-lain dengan dokumentasi yang ekstensif, termasuk dari sumber-sumber yang diklaim sebagai autoritatif bagi Salafi sendiri.

· Mafhum at-Tatawwur wa at-Tajdid fi Shari’a al-Islamiyya (“Apa yang Dimaksud dengan Pertumbuhan dan Pembaharuan dalam Hukum Islam”).

· Manhaj as-Salaf fi Fahm an-Nusus Bayn an-Nazariyya wa at-Tatbiq (“Metodologi para Pendahulu dalam Memahami Teks: Teori dan Praktik”), karya terakhir beliau, sebuah kelanjutan dan update dari Mafahim.

· Muhammad sall-allahu ‘alayhi wasallam al-Insan al-Kamil (“Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam Manusia Sempurna”) [ed. 4 Madina: Matabi’ ar-Rasyid, 1990], suatu ringkasan komprehensif akan sifat-sifat (atribut) Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam dengan penyampaian seperti kitab-kitab Syamail [e.g. at-Tirmidzi, as-Syama’il; al-Qadi ‘Iyad, as-Syifa’; al-Baghawi, al-Anwar fi Syama’il an-Nabi al-Mukhtar; Abu Nu’aym, al-Bayhaqi, dan lainnya: Dala’il an-Nubuwwah, al-Qastallani, al-Mawahib al-Laduniyya dan komentarnya oleh az-Zurqani; as-Suyuti, al-Khasa’is al-Kubra dan ar-Riyad an-Aniqa; Syams ad-Din Muhammad ibn Yusuf as-Shami as-Salihi, Subul al-Huda wa al-Rashad fi Sira Khayr al-‘Ibad, dikompilasi dari lebih tiga ratus sumber; an-Nabahani, Shawahid al-Haqq; Shaykh ‘Abd Allah Siraj ad-Din, Sayyiduna Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, dan lain sebagainya]. Bab-babnya memiliki judul-judul antara lain:

“Kesempurnaan Keutamaan-keutamaan Beliau dan Sifat-sifat Sucinya.”

“Kesempurnaan akan Kesuciannya dari Cacat dan Aspek-aspek yang Dipertanyakan, dan Penjagaan Allah atas Beliau dari Musuh-musuh, Setan dan Serangan serta Gangguan.”

“Kesempurnaan Keutamaannya yang Mulia dan Karakter Pribadinya yang Tak Tertandingi”

“Kesempurnaan Kebijaksanaanya dalam Pemerintahan dam Kepemimpinan Militer.”

“Kesempurnaan Perilakunya dalam Pemerintahan dan Pendidikan Ummatnya, dan Interaksi Penuh Perhatian darinya dengan Mereka secara Umum, dan dengan Keluarga Beliau dan Sahabat-Sahabatnya secara khusus.”

“Kesempurnaan Hukum Beliau dan Pemenuhannya atas Kebutuhan Manusia serta Kebersesuaian dengan Semangat Waktu tanpa Adanya Perubahan ataupun Penggantian.”

· Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyya (“Orientalis Antara Kejujuran dan Prasangka”) [Jeddah: Matabi’ Sahar, 1982], sebuah survey singkat akan celah kekurangan literature tentang Islam oleh non-Muslim.

· Al-Qawa’id al-Asasiyya fi ‘Ulum al-Qur’an (“Kaidah-kaidah Mendasar dalam Ilmu-ilmu Al-Quran”) [Makkah: diterbitkan pengarang, 1999], sebuah pendahuluan atas kitab karya Dr. Nur al-Din ‘Itr, ‘Ulum al-Quran al-Kariim (“Ilmu-ilmu Quran Mulia”). [edisi ke-6, Damascus: Matba’a al-Sabah, 1996].

· Al-Qawa’id al-Asasiyya fi Usul al-Fiqh (“Kaidah-kaidah Mendasar dalam Usul Fiqh-Prinsip-prinsip Hukum”) [Makkah, diterbitkan penerbit, 1999], sebuah pendahuluan dan pengenalan akan buku dua jilid karya Dr. Wahba al-Zuhayli, Usul al-Fiqh al-Islami [Damascus: Dar al-Fikr, 1986].

· Al-Qudwa al-Hasana fi Manhaj ad-Da’wah ila Allah (“Teladan Luhur dalam Metode Da’wah Memanggil Orang Lain menuju Allah”) [ed. 10, Madinah, 1999].

· Qul Hadzihi Sabili (“(Katakan: Inilah Jalanku) (12:108)”), sebuah manual ringkas tentang doktrin dan akhlaq Islami.

· Ar-Risala al-Islamiyya Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha (“Pesan Islam: Kesempurnaannya, Keabadiannya, dan Keuniversalannya”) [Editor: Najih Maymun al-Indonisi. Jeddah: Matabi’ Sahar, 1990]

· Shifa’ al-Fu’ad bi Ziyara Khayr al-‘Ibad (“Penyembuh Hati berkenaan dengan Ziyarah Sebaik-baik Manusia”), yang menerangkan bukti-bukti dan posisi para Imam Ahlus Sunna akan subjek bepergian mengunjungi Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam, dengan tujuan untuk memperoleh barakah (tabarrukan) dan syafa’ah (tasyaffu’an).

· At-Tali’ as-Sa’id al-Muntakhab Min al-Musalsalat wa al-Asanid (“Bulan Baru Kebahagiaan: Pilihan atas Hadits-hadits dan Isnad-isnad Serupa”). [edisi ke-2. Makkah: Matabi’ al-Safa, 1992]

· Tarikh al-Hawadits wa al-Ahwal an-Nabawiyya (“Peristiwa-peristiwa Bersejarah dan Penanda dalam Kehidupan Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam”) [ed 12. Jeddah: Matabi’ Sahar, 1996],

· Al-‘Uqud al-Lu’lu’iyya bi al-Asanid al-‘Alawiyya (“Kalung Mutiara: Isnad-isnad ‘Alawi”) [edisi 2], sang Syaikh mencantumkan rantai transmisi yang beliau terima dari ayahnda beliau, as-Sayyid ‘Alawi ibn ‘Abbas al-Maliki.

· Wa Huwa bi al-Ufuq al-A’la (“(Dan Dia di Cakrawala yang Paling Tinggi) (53:7)”), sebuah komentar paling komprehensif hingga saat ini akan perjalanan malam dan naikna (Isra’ Mi’raj) Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, berisi lebih dari empat puluh karya yang khusus tentang subjek tersebut. Sebuah karya sandingan dari karya Syaikh lainnya al-Anwar al-Bahiyya, buku ini berisi komentar detail atas ayat-ayat yang terkait dengan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dokumentasi lengkap atas riwayat-riwayat releven yang sahih.

Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi amat dicintai oleh penduduk Makkah, Madinah, dan Hijaz. Setelah pencekalan beliau dari pengajaran umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat atas ratusan murid-murid dalam studi Islam, dengan penekanan atas orang-orang Asia Tenggara, di kediaman danmasjid beliau di jalan al-Maliki di distrik Rusayfa di Makkah. Dr. Zuhayr Kutbi dari Makkah menulis biografi beliau yang diterbitkan di Mesir tahun 1995. [dengan catatan yang dituylis oleh Syaikh Fakhruddin Owaisi al-Madani, semoga Allah membalas kebaikan padanya atas hal ini].

Lihat tulisan bagian ke-2 tentang saat-saat wafat beliau dari berita di surat kabar Indonesia.

Sabtu, 13 Februari 2010

konsep cinta dalam islam

Cinta merupakan konsep yang paling penting dan agung dalam Islam. Mahabah atau Hubb dan kalimat yang serupa seperti mawaddah, wilayah, memainkan peranan yang sangat signifikan dalam Islam, khususnya pengikut Ahlulbayt. Sehingga dapat ditegaskan bahwa kecintaan atau cinta merupakan azas keimanan seseorang. Nabi saw dalam suatu hadist yang sangat terkenal bertanya kepada para sahabat tentang apakah iman yang sejati. Sahabat tidak mampu menjawab pertanyaan itu, lalu Rasulullah saw bersabda:"Iman yang sempurna adalah mencintai semata-mata karena Allah, membenci semata-mata karena Allah, menjadi kekasih Allah sebagai kekasihNya, dan membenci sesuatu yang dibenci-Nya."

Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa salah satu murid Imam Dja'far Al-Shadiq as bertanya kepada beliau mengenai makna cinta dan benci yang berasal dari keimanan, Imam menjawab, "apalagi iman itu kalau bukan cinta dan benci." Dari hadist yang lain dikatakan "agama adalah cinta dan cinta adalah agama."

Pernyataan hadist tersebut menunjukan bahwa betapa pentingnya peranan cinta bagi pengikut Ahlulbayt. Maka dari itu, hal ini menuntut perhatian lebih dari kita untuk membeberkan makna yang sebenarnya dari kata Cinta.

Beberapa pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah cinta seperti apakah yang ditekankan oleh Islam secara umum atau para pecinta Ahlulbayt secara khusus? Siapakah yang menjadi pusat kecintaan kita? Mengapa dan untuk tujuan apa orang-orang yang beriman memiliki kecintaan seperti ini?

Bagi pengikut Ahlulbayt, kecintaan mensyaratkan tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama ialah kecintaan kepada Tuhan; kedua, kecintaan kepada Nabi dan keluarganya; dan ketiga, kecintaan kepada orang-orang yang beriman.

Kecintaan kepada Tuhan

Tuhan merupakan obyek kecintaan yang paling puncak dan tertinggi dalam ajaran Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran, Allah swt berfirman:

"Katakanlah, jika bapak-bapak dan anak-anakmu, saudara-saudara dan istri-istrimu, kerabat-kerabat dan hartamu, perniagaan yang kau takutkan kerugiannya, dan rumah-rumahmu lebih kau cintai daripada Allah, Rasul dan berjuang di jalan-Nya, maka tunggulah keputusan Allah, dan Allah sekali-kali tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. 9:24)

Ayat tersebut di atas secara jelas menunjukan bahwa kecintaan kepada Tuhan menghapus segalanya dan apa yang menjadi obyek kecintaan manusia di dalam kehidupannya. Dengan kata lain, ketika orang mencintai Tuhan, ia akan berpaling dari hal lain kecuali Tuhan. Lebih jauh, Alquran mensinyalir dalam ayat lain bahwa kecintaan orang-orang mukmin kepada Tuhan hendaknya lebih besar dari segala-galanya. Akan tetapi, beberapa kelompok anak adam mencintai hal-hal tertentu sebanyak kecintaan mereka kepada Tuhan. Dan ada diantara orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, mereka sangat kuat cintanya kepada Allah.

Maksudnya, Tuhan merupakan sumber segala kecintaan. Ia adalah sumber dari segala yang ada, dari segala makhluk hidup, makro dan mikro kosmos. Kecintaan merupakan atribut Tuhan yang secara gamblang digambarkan oleh banyak ayat Alquran, maka konsekuensi logisnya adalah kecintaan kepada Tuhan merupakan azas yang sangat fundamental dari keimanan. Azas yang mana manusia dituntut untuk menggerakannya dalam kehidupan mereka. Pemikiran seperti ini juga ditegaskan oleh pikiran dan nalar kita.

Patut untuk diperhatikan bahwa pertama, karakter fitrah manusia selalu mendambakan kesempurnaan dan keindahan. Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak dan keindahan azali, maka adalah suatu hal yang fitrah dan wajar bilamana manusia mencintai Tuhan. Kedua, manusia sebagai hamba Tuhan secara fitrah mencintai siapa saja yang berbuat baik kepada mereka dan mereka akan membalas kebaikan dan kemurahan itu sebagaimana sabda Imam Ali bin Abi Thalib as, "kemurahan dan kebaikan memperbudak manusia."

Kini, ketika mengatakan bahwa Tuhan merupakan sumber dari segala wujud yang ada, dengan segala kemurahan dan kebaikannya, maka manusia berdasarkan kefitriannya mencintai Tuhan. Nabi saww bersabda, "Cintailah Allah karena Ia telah bermurah hati dan menganugerahkan segala kebaikan kepadamu."

Kecintaan kepada Nabi

Setelah kecintaan kepada Tuhan, Rasulullah saw dan Ahlulbaytnya merupakan objek kecintaan kita. Nampak nyata bahwa kecintaan kepada Rasul adalah sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah. Dalam salah satu hadist Ahlulbayt as dikatakan bahwa Allah mencintai Nabi dan Ahlulbaytnya sebagai puncak kecintaan manusia. Maksud penciptaan semesta, nirwana dan segala yang ada di dalamnya merupakan manifestasi kecintaan Tuhan kepada Nabi dan Ahlulbayt as. Dalam hadist al-kisa yang dinarasikan oleh Fatimah disebutkan, ketika mereka, Ahlulbayt, berhimpun dalam suatu kisa (kain), Allah yang Maha Kuasa berfirman, "Agar menjadi khasanah pengetahuanmu, malaikat dan segala apa yang ada di dalam nirwana bahwa tidak Aku ciptakan nirwana, semesta dan segala isinya kecuali karena kecintaan-Ku kepada lima manusia suci di dalam kisa."

Nabi saww dan Ahlulbaytnya berkata kepada para pengikutnya, "Cintailah aku semata-mata kecintaan kepada Allah." Kita mencintai Nabi karena ia merupakan kekasih Allah swt dan ia membimbing kita untuk mencintai Rasulullah, demikian juga Ahlulbaytnya. Inilah alasan yang pertama dan yang utama kenapa kita mesti mencintai Nabi saw. Kedua, karena Nabi Muhammad adalah insan paripurna dan personifikasi dari ketinggian derajat seperti kepemurahan, keagungan, akhlak yang mulia dan kearifan puncak. Oleh karena itu, wajar jika manusia terpesona dengan wujud Muhammad dan kemudian mencintainya. Dan yang ketiga, Muhammad telah membimbing kita kepada anugerah yang paling esensial dan signifikan bagi kemaslahatan kita pada kehidupan hari ini dan hari esok.

Karena atas alasan ini, firman Tuhan yang prolifik, hadist Rasul dan hadist para Imam yang menandaskan kemestian cinta kita kepada Rasul dan Ahlulbayt, sudah menjadi kewajiban seluruh muslim untuk mencintai mereka sebagaimana cinta kepada diri mereka sendiri, atau bahkan lebih daripada itu, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran, "Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin lebih dari mereka sendiri." (QS. 33:6)

Kecintaan kepada Ahlulbayt

Kecintaan kepada Ahlulbayt Nabi saww merupakan suatu kemestian yang harus ditanamkan dalam jiwa seorang muslim sebagaimana kemestian cinta kita kepada Rasulullah saww. Bahkan suatu bukti kecintaan kepada Ahlulbayt Nabi ditegaskan dalam suatu hadist bahwa hal yang mula-mula ditanyakan pada hari hisab kelak adalah tentang kecintaan kepada Ahlulbayt.

Karena kecintaan ini bercorak mesti dan penting, maka terdapat tiga ratusan ayat suci Alquran yang bersumber baik dari Syi'ah maupun Sunni. Kesimpulannya adalah mereka menunjukkan bahwa peran utama dari kecintaan ini adalah menumbuhkan benih-benih spiritualitas dari keimanan kita. Diceritakan bahwa Rasulullah saww dan Ahlulbayt as bersabda, "setiap benda memiliki poros utama, dan poros utama Islam adalah kecintaan mereka kepada kami, yakni aku dan keluargaku." Dalam hadist yang lain dikatakan bahwa, "Bagi mereka yang ingin mengambil peranan dari keimanan yang sejati hendaknya menisbatkan kecintaannya kepada Ali dan Ahlulbaytku." Nabi saww juga berkata, "Kecintaan kalian terhadap keluargaku merupakan simbol keimanan, dan kebencian terhadapnya merupakan simbol kekufuran. Siapa saja yang mencintai Ahlubaytku berarti mencintai aku dan mencintai Allah swt. Dan siapa saja yang membencinya berarti membenci aku dan membenci Allah swt."

Dikisahkan bahwa Imam Dja'far Al-Shodiq as berkata, "Setiap bentuk ibadah senantiasa ada yang mengunggulinya, dan kecintaan kepada keluarga Rasul merupakan suatu kemestian dalam keimanan seorang muslim." Lebih jauh lagi ditegaskan dalam kitab suci, bahwa kecintaan kepada Ahlulbayt Rasulullah merupakan manifestasi rasa syukur kita atas turunnya risalah kenabian. Allah swt berfirman, "Katakanlah (Muhammad): aku tidaklah meminta upah atas risalah yang aku bawa kecuali kecintaan kalian kepada sanak keluarga." (QS. 42:23)

Ketika Nabi saww ditanya oleh para sahabat tentang siapakah yang dimaksud dengan sanak kerabatnya, Rasulullah menjawab, "Mereka yang oleh Allah diwajibkan kepada seluruh muslim untuk mencintainya, yaitu Fatimah, Ali, Hasan dan Husain."

Menurut madzhab Syi'ah, merujuk kepada ayat ini, setiap muslim dituntut untuk mencintai Ahlulbayt sebagai konsekuensi ketundukannya pada hukum Islam. Karena Tuhan di dalam ayat ini menginstruksikan kepada manusia untuk mencintai mereka. Mereka merupakan panutan agung dalam rangka untuk taat pada perintah-perintah Allah. Maqam mereka sedemikian tinggi dihadapan Allah dan suci dari segala bentuk dosa dan segala sesuatu yang menjauhkan manusia dari rahmat Tuhan.

Pendeknya, jika Tuhan menginstruksikan kepada manusia untuk mencintai sekelompok manusia, maka mereka niscaya yang terbaik, terutama dan teragung di antara makhluk-makhluk-Nya.